Syariah

Hukum Non-Muslim Istirahat di Masjid

Kamis, 6 Juni 2024 | 07:30 WIB

Hukum Non-Muslim Istirahat di Masjid

Ilustrasi masuk masjid. (Foto: Freepik)

Pada Ahad, 19 Mei 2024 lalu, rombongan Biksu Thudong sempat istirahat di serambi Masjid Baiturrohmah Bengkal, Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung. Mereka melakukan perjalanan ke Candi Borobudur untuk mengikuti Waisak. Kemudian panitia Thudong di Temanggung menyampaikan surat untuk meminta izin beristirahat. 


Pihak takmir menerangkan, mereka hanya memberikan pelayanan atau memuliakan tamu yang datang.


Setelah mendapatkan penyambutan dari takmir masjid, para Biksu Thudong menyampaikan terima kasih. Kemudian sebelum meninggalkan masjid sempat mendoakan untuk warga Bengkal. Pihak takmir juga mendoakan, doa selamat yang dipimpin H Wari.  Dalam keterangannya, semua itu dilakukan oleh takmir untuk menunjukkan kalau Islam rahmatan lil alamin.


Sebenarnya bagaimanakah tinjauan fiqih menanggapi kejadian ini?


Pada dasarnya, tindakan takmir masjid memberikan sambutan penghormatan kepada non-Muslim adalah diperbolehkan dengan catatan ada kemaslahatan yang kembali kepada orang Islam dan tindakan itu untuk menampakkan pada mereka bahwa Islam adalah agama yang toleran dan cinta perdamaian. (Lihat Bariqoh Mahmudiyyah juz 2 hal 51 dan Roddul Mukhtar juz 4 hal. 209). Sebagaimana yang dilakukan oleh takmir untuk menunjukkan kalau Islam adalah agama rahmatan lil alamin.


Namun, selanjutnya tindakan tersebut tidak bisa terlepas dari kajian hukum tentang non-Muslim masuk masjid, karena serambi memiliki hukum yang sama dengan masjid jika serambi tersebut status wakafnya sebagai masjid bersamaan dengan masjid (Ruhbah Qodimah). 


Secara konsep hukum non-Muslim masuk ke dalam masjid adalah khilaf. Menurut mayoritas ulama Syafiiyyah hukumnya diperinci: Boleh dengan syarat mendapatkan izin dari orang Islam dan memang ada keperluan. Sebagaimana dalam Sirojul Munir dikatakan:


(مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِيْنَ أَنْ يَعْمُرُوْا مَسَاجِدَ اللهِ) أَيْ: مَا يَنْبَغِيْ لِلْمُشْرِكِيْنَ أَنْ يَعْمُرُوْا مَسَجِدَ اللهِ بِدُخُوْلِهِ وَالْقُعُوْدِ فِيْهِ وَخِدْمَتِهِ، فَإِذَا دَخَلَ بِغَيْرِ إِذْنِ مُسْلِمٍ عُزِّرَ وَإِنْ دَخَلَ بِإِذْنِهِ لَمْ يُعَزَّرْ، لَكِنْ لَا بُدَّ مِنْ حَاجَةٍ فَيُشْتَرَطُ لِلْجَوَازِ الْإِذْنُ وَالْحَاجَةُ


Artinya, "Tidak seharusnya orang-orang non-Muslim meramaikan masjid dengan memasukinya, duduk di dalam masjid dan khidmah. Apabila mereka masuk masjid tanpa izin dari orang Islam, maka dita’zir dan apabila mereka masuk masjid atas izin orang Islam, maka tidak dita’zir, dengan syarat ada hajat. Sehingga kebolehan masuk masjid bagi non-Muslim adalah mendapatkan izin dan ada hajat. (Sirojul Munir juz 1 hal 1287). 


Lebih lanjut Imam Ali Syibromalisi menyebutkan kriteria hajat yang memperbolehkan masuk masjid bagi non-Muslim yaitu hajat yang berhubungan dengan kemaslahatan Islam, seperti mendengarkan Qur’an atau yang berhubungan di luar Islam namun diperbolehkan dari orang Islam, seperti, non-Muslim meminta fatwa. Sedang bila hanya untuk makan, minum atau istirahat, maka tidak diperbolehkan. Hukum ini hanya berlaku pada selain Masjidil Haram.


Namun menurut sebagian Ashab Syafi’I (pengikut Syafi’i) dan Hanafiyyah boleh secara mutlak sekalipun tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Sedangkan menurut Malikiyyah dan Imam Muzaniy hukumnya tidak boleh secara mutlak. Sebagaimana Imam Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari-nya mengatakan:


( قوله بَابُ دُخُوْلِ الْمُشْرِكِ الْمَسْجِدَ ) وَفِيْ دُخُوْلِ الْمُشْرِكِ الْمَسْجِدَ مَذَاهِبُ فَعَنِ الْحَنَفِيَّةِ الْجَوَازُ مُطْلَقًا وَعَنِ الْمَالِكِيَّةِ وَاْلمُزَنِيُّ الْمَنْعُ مُطْلَقًا


Artinya, "Berkenaan dengan hukum non-Muslim masuk masjid ada beberapa pendapat, menurut Hanafiyyah hukumnya boleh secara mutlak dan menurut Malikiyyah dan Imam Muzaniy hukumnya tidak boleh secara mutlak". (Fathul Bari Juz 1 hal. 650)


Selanjutnya, bagaimanakah hukum mendoakan non-Muslim dan mengamini doa orang non-Muslim sebagaimana dalam kasus di atas?


Hukum mendoakan non-Muslim adalah khilaf di antara para ulama. Satu pendapat mengatakan hukumnya diperbolehkan selama bukan dosa kekufurannya. Sedangkan pendapat kedua mengatakan tidak diperbolehkan. Begitu pula mengamini doa dari non-Muslim juga terjadi perbedaan di antara ulama.

 

Dalam Hasyiah Qulyubi Wa Umairoh disebutkan:


يَجُوْزُ إِجَابَة ُدُعَاءِ الْكَافِرِيْنَ وَيَجُوْزُ الدُّعَاءُ لَهُ وَلَوْ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ خِلاَفًا لِمَا فِي الْأَذْكَارِ إِلَّا مَغْفِرَةَ ذَنْبِ الْكُفْرِ مَعَ مَوْتِهِ عَلَى الْكُفْرِ فَلاَ يَجُوْزُ


Artinya, "Diperbolehkan menjawab doa dari orang non-Muslim. Dan diperbolehkan mendoakan kepada orang non-Muslim walaupun doa memintakan ampunan dan rahmat selama bukan (memintakan) ampunan atas dosa kekufurannya padahal dia mati dalam keadaan kufur. Berbeda dengan pendapat dalam Al Adzkar (hukum mendoakan non-Muslim tidak diperbolehkan. (Hasyiah Qulyubi Wa Umairoh juz 1 hal. 336 – 337)


Sehingga dapat disimpulkan bahwa, hukum memberikan penghormatan kepada non-Muslim adalah boleh jika ada unsur kemaslahatan, sedangkan hukum non-Muslim istirahat di masjid tidak diperbolehkan, mengacu pada pendapat mayoritas Syafiiyah tentang hukum non-Muslim masuk masjid yang harus ada kemaslahatan bagi orang Islam.

 

Sementara hukum mendoakan non-Muslim, satu pendapat memperbolehkan selama bukan ampunan atas kekufurannya, begitu pula mengamini doa non-Muslim juga diperbolehkan. Wallahu a’lam bishshawab



*Ditulis oleh Ahmad Faiz, Redaktur Keislaman NU Online Jombang, Pengajar di Pesantren Tarbiyatunnasyiin, Jombang.