Refleksi Sejarah Panji Hitam Revolusi Abbasiyah dalam Fenomena Bendera One Piece
Senin, 4 Agustus 2025 | 12:08 WIB
Akhir-akhir ini, ruang digital maupun kehidupan nyata diramaikan oleh kemunculan bendera bajak laut “One Piece” yang dikibarkan di berbagai tempat, mulai dari halaman rumah hingga perahu nelayan. Bendera dengan simbol tengkorak dan dua tulang menyilang ini, yang dalam kisah animenya menggambarkan semangat kebebasan dan perlawanan terhadap tirani, ternyata menggugah emosi banyak kalangan, terutama generasi muda.
Bendera ini bukan hanya representasi fiksi, namun telah menjelma menjadi simbol identitas bersama yang mewakili impian, keberanian, dan tekad untuk menentang ketidakadilan. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa dalam berbagai peradaban dan budaya, bendera memegang kekuatan simbolik yang mampu menginspirasi massa dan membangkitkan semangat perubahan.
Jika menoleh pada sejarah Islam, bendera bukan sekadar kain yang melambai. Ia memiliki nilai identitas, semangat perjuangan, dan makna politik. Di antara berbagai bendera yang pernah digunakan umat Islam, panji berwarna hitam milik Dinasti Abbasiyah memiliki makna simbolik paling kuat. Panji tersebut muncul sebagai bagian dari perlawanan terhadap Dinasti Umayyah, yang dilandasi oleh luka, kemarahan, serta harapan akan kebebasan dari kezaliman. Warna gelap bendera ini menyimpan kisah penderitaan yang berubah menjadi seruan revolusi.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Latar kemunculan bendera hitam, melansir NU Online, berawal dari ketidakpuasan mendalam terhadap pemerintahan Umayyah yang beralih dari sistem musyawarah dan kesetaraan menjadi kerajaan turun-temurun. Ketegangan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim, keturunan langsung Rasulullah, semakin meningkat. Khususnya setelah tragedi Karbala pada tahun 680 M, di mana cucu Nabi, Husain bin Ali, dibantai. Kejadian tersebut menjadi luka mendalam dan membentuk kesadaran politik di kalangan Syiah dan pendukung Bani Abbas.
Dalam narasi-narasi sejarah, warna hitam kemudian diasosiasikan dengan kesedihan atas tragedi pembunuhan Husain dan keluarganya. Para pendukung keluarga Nabi yang bergerak secara bawah tanah menggunakan warna ini sebagai lambang perjuangan melawan dominasi Umayyah. Mereka dikenal sebagai al-Musawwidah, yang berarti para pengibar panji hitam. Gerakan ini bermula dari Khurasan, sebuah kawasan timur yang jauh dari pusat pemerintahan Umayyah di Damaskus, dan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya semangat revolusioner.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Salah satu tokoh penting dalam gerakan ini adalah Abu Muslim al-Khurasani, seorang pemimpin militer yang karismatik. Ia mampu memobilisasi masyarakat Khurasan dengan semangat membela Ahlul Bait. Dalam setiap pergerakan militernya, pasukan Abu Muslim selalu membawa panji hitam, menyampaikan pesan bahwa kekuasaan harus kembali ke tangan keluarga Nabi. Revolusi ini bukan hanya didorong oleh faktor keturunan, melainkan juga oleh semangat menegakkan keadilan sosial bagi kelompok non-Arab (mawali) yang selama ini termarjinalkan oleh sistem Umayyah.
Adz-Dzahabi mengutip syair Abu Muslim al-Khurasani dalam Siyaru A'lamin Nubala sebagai berikut:
ADVERTISEMENT BY OPTAD
ذَرُونِي، ذَرُونِي مَا قَرَّرْتُ فَإِنَّنِي
مَتَى مَا أَهْجُ حَرْبًا تَضِيقُ بِكُمْ أَرْضِي
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
وَأَبْعَثُ فِي سُودِ الْحَدِيدِ إِلَيْكُمْ
كَتَائِبَ سُودًا طَالَمَا انْتَظَرَتْ نَهْضِي
Artinya, "Biarkan aku diam dalam badai yang kutahan, Karena bila kugelorakan perang, bumi sempit bagimu, tak berampun. Kan kukirim besi hitam dari bara dendam yang kupangku, Pasukan hitam, yang sejak lama menanti aku bangkit dan menyapu." (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala, [Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2001], juz 6, h. 48)
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Syair ini merupakan bentuk puisi politik yang sarat dengan pesan revolusi. Ia menyiratkan ancaman militer, penggunaan warna sebagai simbol, serta pembentukan identitas kolektif di tengah perjuangan Abbasiyah. Penyebutan warna hitam bukanlah tanpa makna, ia menjadi simbol resistensi.
Sejak Dinasti Abbasiyah berdiri hingga masa Khalifah Al-Amin, panji hitam menjadi simbol utama kekuasaan dan perlawanan terhadap kekejaman Umayyah atas Ahlul Bait. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah mencatat:
أَوْ بِمَا اخْتُصَّ بِهِ الْخَلِيفَةُ مِنَ الْأَلْوَانِ لِرَايَتِهِ كَالسَّوَادِ فِي رَايَاتِ بَنِي الْعَبَّاسِ،
فَإِنَّ رَايَاتِهُمْ كَانَتْ سُودًا حُزْنًا عَلَى شُهَدَائِهِمْ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ، وَنَعْيًا عَلَى بَنِي أُمَيَّةَ فِي قَتْلِهِمْ،
وَلِذَلِكَ سُمُّوا الْمُسَوِّدَةَ.
Artinya, "… seperti warna hitam milik Bani Abbas. Sebab, panji mereka berwarna hitam sebagai simbol duka atas syuhada dari keluarga Bani Hasyim dan sebagai bentuk kecaman terhadap Bani Umayyah atas pembunuhan tersebut. Karena itu, mereka dijuluki al-Musawwidah (pengibar panji hitam)." (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 2020], hlm. 202)
Dalam kutipan tersebut, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa panji hitam bukan sekadar simbol visual, tetapi mengandung dimensi duka, resistensi, dan ideologis revolusi Abbasiyah. Ia menyatukan barisan, memperkuat identitas perlawanan, dan menjadi simbol sahnya perjuangan melawan ketidakadilan.
Dari Simbol Revolusi Menjadi Lambang Negara
Tahun 750 M menjadi titik klimaks revolusi panji hitam. Pasukan ini berhasil menggulingkan Khalifah Marwan II, penguasa terakhir Dinasti Umayyah. Di kota Kufah, Abul Abbas as-Saffah dinobatkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Sejak saat itu, panji hitam bertransformasi dari lambang perlawanan menjadi simbol resmi pemerintahan. Warna ini merambah hingga ke pakaian, panji resmi, bahkan pelana kuda, menjadi identitas visual Abbasiyah. Inilah momen pertama kalinya simbol revolusi diadopsi sebagai simbol negara.
Adopsi warna hitam oleh Abbasiyah bukan tanpa maksud. Ia dimaksudkan sebagai antitesis atas Dinasti Umayyah yang mengidentikkan kekuasaan dengan warna putih. Warna hitam dipilih sebagai simbol balik arah sejarah dan pengukuhan legitimasi baru. Banyak sumber menyebut bahwa warna ini juga sebagai bentuk duka atas syuhada Bani Hasyim serta sebagai kecaman terhadap kekejaman rezim sebelumnya. Simbol ini memuat dimensi emosional, ideologis, dan politis secara bersamaan.
Selama enam dekade pertama Abbasiyah, panji hitam terus dikibarkan dalam parade, upacara resmi, dan ekspedisi militer. Para khalifah seperti Abu Ja’far al-Mansur, al-Mahdi, Harun ar-Rasyid, hingga al-Amin mempertahankan simbol ini secara konsisten, sebagai penegas bahwa kekuasaan mereka merupakan kelanjutan perjuangan keluarga Nabi.
Namun perubahan terjadi ketika al-Ma’mun naik takhta setelah konflik berdarah dengan saudaranya, al-Amin. Setelah menjadi khalifah pada 813 M, al-Ma’mun mengambil kebijakan mengejutkan dengan mengganti simbol kekhalifahan dari hitam menjadi hijau, warna yang lebih dekat dengan Syiah dan Ahlul Bait. Langkah ini dipandang sebagai upaya mendamaikan ketegangan sektarian serta merangkul kelompok pro-Syiah yang sempat kecewa atas kebijakan Abbasiyah sebelumnya. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 202)
Namun, keputusan al-Ma’mun tidak bertahan lama. Khalifah-khalifah setelahnya tidak konsisten dengan simbol warna hijau. Sebagian kembali ke warna hitam, sebagian lagi mengabaikan simbolisme warna dan lebih memilih menekankan kekuasaan administratif. Hal ini menunjukkan bahwa simbol panji secara bertahap kehilangan fungsinya sebagai penanda legitimasi, dan bergeser menjadi elemen seremonial belaka. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 202)
Akhirnya, panji hitam dalam sejarah Abbasiyah bukan muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh dari luka sejarah, semangat perubahan, dan keresahan terhadap ketidakadilan. Dalam konteks itu, bendera hitam adalah narasi perjuangan yang memberi harapan terhadap tegaknya keadilan. Namun, ketika ia menjadi simbol kekuasaan resmi, maknanya mulai berubah, dari simbol revolusi menjadi lambang negara. Meski demikian, warisan simboliknya tetap hidup dalam ingatan sejarah Islam.
Kesimpulannya, panji hitam menjadi pengingat bahwa simbol tidak pernah bersifat netral. Ia dapat menjadi alat perjuangan atau alat dominasi, tergantung siapa yang mengibarkannya dan untuk tujuan apa. Dalam sejarah Abbasiyah, panji ini menyatukan duka masa lalu dengan harapan masa depan dan dari situlah revolusi bermula. Memahami maknanya berarti menyusuri jejak emosi, ideologi, dan imajinasi umat Islam yang terus berkembang sepanjang zaman.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND