• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Bolehkah Meminta Kembali Barang Bawaan Khitbah?

Bolehkah Meminta Kembali Barang Bawaan Khitbah?
Ilustrasi melamar untuk pernikahan. (Foto: Bincangsyariah.com)
Ilustrasi melamar untuk pernikahan. (Foto: Bincangsyariah.com)

Oleh: Moh. Makmun*

Setelah beberapa waktu lalu mengupas terkait boleh tidaknya membatalkan khitbah (lamaran), maka konsekuensi dan implikasi dari adanya pembatalan tersebut adalah status benda atau barang yang telah diberikan pihak pelamar ke pihak yang dilamar apakah boleh diminta kembali atau tidak? Hal ini bertujuan untuk menghindari dampak negatif hubungan persaudaraan mereka.

Jama’ kita ketahui bersama, di masyarakat berkembang sebuah kebiasaan jika seseorang meng-khitbah orang yang dipilihnya, maka ia dan atau keluarganya akan mendatangi pihak yang di-khitbah dengan membawa berbagai macam bentuk barang, seperti makanan, pakaian, perlengkapan perawatan kecantikan, perhiasan, dan bahkan ada juga yang membawa barang-barang kebutuhan pokok. Hal ini sesuai dengan adat istiadat daerah masing-masing. Barang bawaan tersebut diberikan umumnya adalah sebagai tanda keseriusan hubungan pihak pelamar dan yang dilamar menuju jenjang pernikahan. Selain itu, barang tersebut umumnya juga bertujuan lebih mengakrabkan antara pihak pelamar dan yang dilamar.

Menurut kesimpulan Ibn Hajar al-Haitami atas pendapat Imam Rofi`i, bahwa jika pihak perempuan yang membatalkan pertunangan, maka pihak lelaki boleh meminta kembali barang-barang tersebut, namun bila yang membatalkan pertunangan adalah pihak lelaki sendiri, maka pihak lelaki tidak boleh meminta kembali barang-barang itu.

Menurut Ibnu Abidin, barang bawaan saat khitbah statusnya seperti hibah. Pihak pelamar boleh meminta kembali barang tersebut, kecuali jika terdapat alasan yang tidak memungkinkan untuk diambil kembali, seperti barang telah rusak, telah digunakan atau adanya akad nikah. Jika pemberian dari pelamar itu masih ada maka dia boleh mengambilnya. Jika barang itu telah rusak maupun berubah wujud dari kain menjadi baju, makanan yang telah dimakan, perhiasan yang sudah hilang, maka pelamar tidak berhak untuk meminta ganti. Artinya, jika barang bawaan khitbah masih utuh, maka pelamar boleh memintanya.

Sedangkan Imam Hanafi berpendapat jika pihak yang dilamar khianat atas lamaran tersebut, maka pelamar boleh meminta kembali barang yang masih utuh, bukan barang yang telah habis ataupun yang telah rusak. Dan ini berlaku khusus pada barang hadiah saja bukan barang sandang-pangan (nafaqah).

Adapun Imam Nawawi berpandangan, barang bawaan khitbah termasuk pemberian yang disebut hadiah. Barang tersebut diberikan dengan maksud dan tujuan agar yang di lamar mau menikah dengannya. Andai kata lamaran batal, maka hukum dari hadiah yang telah diberikan saat lamaran tersebut harus dikembalikan secara mutlak, bila masih utuh atau jika sudah rusak maka harus menggantinya.

Menurut Madzhab Syafiiyah, diperbolehkan bagi pelamar untuk mengambil barang pemberian karena ia mengalokasikan pemberian tersebut dengan tujuan menikahinya. sehingga diperbolehkan mengambilnya jika masih ada dan andai kata barang tersebut telah rusak, maka harus menggantinya.

Menurut Madzhab Hanabilah, jika yang berpaling atas lamaran yang sudah terjadi adalah pihak pelamar, maka ia tidak boleh meminta kembali barang tersebut walaupun masih ada. Namun, jika yang berpaling adalah yang dilamar, maka diperbolehkan untuk meminta kembali barang tersebut, baik barangnya masih ada atau sudah rusak, jika hilang atau dikonsumsi maka wajib meng-uangkan. Ini yang benar dan adil, karena pelamar memberi dengan syarat tetapnya akad, jika akad telah hilang maka boleh meminta kembali.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa pihak yang membatalkan lamaran tidak boleh meminta kembali pemberiannya, baik barangnya masih ada maupun sudah tidak ada. Pihak yang berhak meminta barangnya adalah pihak yang tidak menggagalkan pinangan. Dia berhak menerima barangnya jika masih ada, atau menerima qimahnya jika barang pemberiannya sudah tidak ada.

Menurut Madzhab Hanafiyah, barang pemberian ketika khitbah merupakan hadiah dan hibah. Sehingga pihak pelamar diperbolehkan meminta kembali barang tersebut, kecuali jika kondisi barang telah rusak, telah hilang, telah berubah wujud seperti kain dijahitkan menjadi baju atau gamis, atau makanan yang telah dimakan, maka pihak pelamar tidak berhak untuk meminta kembali barang tersebut.

Demikian beberapa pandangan terkait boleh tidaknya meminta kembali barang bawaan pada saat khitbah. Namun demikian, kembali kepada pihak yang melamar, apakah ia akan meminta kembali barang tersebut, atau mengikhlaskannya kepada orang yang pernah ia kasihi dan cintai. Bukankah orang yang mencintai akan rela berkorban apapun terhadap yang dicintainya.

Selain itu, juga dikembalikan pada adat istiadat masing-masing, serta lebih baik dikomunikasikan bersama antara pihak pelamar dan yang di lamar. Namun, sejauh yang saya amati dan yang pernah terjadi di beberapa daerah, mayoritas barang yang diminta ataupun barang yang dikembalikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti cincin emas dan perhiasan lain, dan juga pakaian. Sedangkan makanan dan aneka kue yang pernah diberikan, rata-rata tidak diminta dan tidak dikembalikan.

So, tetaplah jalin komunikasi yang baik antara pihak pelamar dan yang dilamar sehingga persaudaraan tidak putus dan tidak saling dendam. Serta yang lamarannya batal bisa kembali move on untuk menata hidup ke depan dengan penuh semangat.

*Penulis adalah dosen pascasarjana Unipdu Jombang, juga ketua PC LTMNU Jombang

Catatan: Artikel ini diambil dari tulisan yang diunggah di akun Facebook penulis. NU Jombang Online menerbitkan tulisan ini atas izin penulis. Lihat artikelnya di sini.


Editor:

Opini Terbaru