• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Jumat, 19 April 2024

Daerah

Bukan Pesantren, Kiai Jombang Ungkap Terjadinya Kekerasan Seksual oleh Herry Wirawan

Bukan Pesantren, Kiai Jombang Ungkap Terjadinya Kekerasan Seksual oleh Herry Wirawan
Rumah Tahfidz Al-Ikhlas di Antapani, Bandung milik Herry Wirawan, pelaku pemerkosaan 1muridnya. (Foto: Julia Azka/BBC Indonesia)
Rumah Tahfidz Al-Ikhlas di Antapani, Bandung milik Herry Wirawan, pelaku pemerkosaan 1muridnya. (Foto: Julia Azka/BBC Indonesia)

NU Online Jombang, 
Kasus pelecehan seksual puluhan murid yang dilakukan oleh oknum pengajar Herry Wirawan (36) menyita perhatian banyak kalangan. Peristiwa tersebut terjadi di Rumah Tahfidz Al-Ikhlas, Antapani dan Madani Boarding School, Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat. Kedua lembaga itu milik Herry berada di bawah naungan Yayasan Manarul Huda.


Pengasuh Pondok Pesantren Putri Tebuireng, KH Fahmi Amrullah Hadzik menegaskan, menurut data yang diterimanya, Herry Wirawan memang bukan sosok pengasuh di pesantren seperti yang banyak diwartakan media, melainkan pengajar boarding school.


"Saya tidak sepakat kalau Herry Wirawan disebut sebagai pengasuh, karena nyatanya di situ bukan pesantren, tetapi boarding school," ujarnya ketika di konfirmasi oleh NU Online Jombang, Sabtu (11/12/21).


Perbedaan pesantren dan boarding school yang paling mendasar adalah pesantren merupakan tempat untuk membentuk manusia yang berakhlak. Santri-santri di pesantren bisa belajar tanpa adanya batas waktu. Selain itu, tidak ada pembatasan usia bagi santri yang belajar di pondok pesantren.


Sedangkan untuk boarding school merupakan suatu tempat untuk para pelajar melakukan beragam aktivitas seperti belajar, tempat tinggal, serta aktivitas lain yang mendukung terlaksananya pendidikan, dengan batas waktu yang telah ditentukan, sehingga ada persyaratan usia bagi para siswanya atau muridnya. Tempat belajarnya biasanya jadi satu, bisa juga memodifikasi sekolah formal. Oleh karena itu, boarding school disebut juga dengan sekolah berasrama.

 


Atas kasus tersebut, orang tua harus lebih jeli memilih tempat belajar anak-anaknya. Baik pesantren, rumah tahfidz, maupun lembaga lainnya, KH Fahmi Amrullah Hadzik mengimbau kepada para orang tua untuk lebih hati-hati. Setiap lembaga yang hendak dibuat tempat belajar putra-putrinya harus ditelaah terlebih dahulu.


"Jadi saya lebih mengimbau kepada seluruh orang tua kalau mau mengirim putrinya ke pesantren hendaknya dilihat nama pesantrennya, pengasuhnya, hubungan sosial di luar bagaimana. Kalau HW itu tidak jelas lulusan mana, keahliannya di bidang apa juga tidak jelas," tuturnya.


Faktor Kekerasan Seksual

Dihubungi terpisah, salah seorang tokoh muda pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang Gus Rif'an Nashir menjelaskan terkait beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual oleh guru keaoda muridnya di lembaga pendidikan.


Pertama, tidak adanya sekat antara seorang guru dengan murid perempuan dalam proses pembelajaran, sekat ini bersifat umum, bisa jadi dalam bentuk aturan, etika mengajar, rasa malu terhadap perempuan.


"Hal itu dapat terceminkan dari korban yang begitu banyak, sehingga bisa kita duga bahwa akses oknum ustadz kepada para muridnya ini sangatlah leluasa sehingga bisa terjadi hal yang semacam itu," ujarnya.


Kedua, oknum ustadz tersebut menurutnya sudah masuk kategori pedofil, karena sudah tidak dapat menahan nafsunya, dan korbannya semua adalah anak di bawah umur.


"Sehingga dengan adanya kelainan seksual itulah dia bisa menggunakan wewenangnya di yayasan tersebut/boarding school untuk dapat mengakses ke tempat-tempat yang dihuni oleh murid-murid perempuan di lembaga tersebut," tuturnya.


Ketiga, ada kemungkinan tindakan bejat tersebut memang direncanakan. Putra Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Putra (induk), KH Abdul Nashir Fattah itu menyebut, latar belakang yayasan Herry Wirawan bergerak untuk menaungi para anak-anak yatim piatu yang tidak punya siapa-siapa, sehingga tentu membutuhkan dana untuk biaya oprasinal lembaga. 


"Bisa jadi tindakan bejat tersebut memang direncanakan untuk memproduksi bayi yang nantinya dijadikan alat untuk penggalangan dana. Hal itu sudah banyak digunakan oleh kalangan esktremis dalam menggalang dana dan menyiapkan kader," pungkasnya.


Kontributor: Karimatul Maslahah
Editor: Ahmad 


Daerah Terbaru