Syariah

Menjaga Lisan Berkata Kotor, Adab Seorang Pemimpin Berbicara dalam Islam

Ahad, 23 Februari 2025 | 08:00 WIB

Menjaga Lisan Berkata Kotor, Adab Seorang Pemimpin Berbicara dalam Islam

Ilustrasi seorang pemimpin berbicara di depan publik. (Foto: Freepik)

Keteladanan seorang pemimpin tidak hanya dilihat dari perilakunya, melainkan juga dari tutur katanya. Oleh sebab itu, pemimpin harus bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.


Melansir dari artikel NU Online yang ditulis oleh Amien Nurhakim, menyebutkan bahwa dalam Islam, kepemimpinan bukan sekadar tentang bagaimana seseorang mengatur dan mengambil keputusan, tetapi juga bagaimana ia berbicara dan menyampaikan kata-katanya kepada orang lain. Seorang pemimpin teladan tentu saja mampu menjaga lisannya dari kata-kata yang tidak pantas diucap di depan publik. 


Di era media sosial, informasi menyebar dengan cepat dan luas, serta bisa dijangkau oleh sejumlah lapisan masyarakat. Konten-konten yang menampilkan sosok pemimpin menjadi salah satu konsumsi publik yang banyak disorot.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Oleh karena itu, pemimpin hendaknya dapat meramu kalimat-kalimat yang sesuai dengan adab bertutur kata agar tidak menimbulkan citra buruk dari seorang pemimpin.


Terlebih lagi jika tutur kata yang kurang baik diucapkan oleh pemimpin, hal ini dapat menimbulkan krisis keteladanan pemimpin dalam bertutur kata.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Dalam Al-Qur’an, terdapat larangan mengucapkan perkataan buruk dan kasar, terlebih jika dilakukan secara terang-terangan. Firman Allah swt dalam Al-Qur'an:


لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْۤءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلَّا مَنْ ظُلِمَۗ وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Artinya, “Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS An-Nisa: 148)


Syekh Wahbah menjelaskan ayat di atas, “Allah Ta'ala menghukum orang yang terang-terangan mengucapkan perkataan buruk, yaitu dengan menyebut aib orang lain dan menyebutkan keburukan mereka. Hal ini karena dapat memicu permusuhan, kebencian, dan menanamkan dendam di dalam hati. Selain itu, hal ini juga berdampak buruk bagi pendengarnya, karena dapat mendorong mereka untuk melakukan kemungkaran, meniru perbuatan buruk, dan terjerumus dalam dosa. Sebab, mendengar keburukan sama halnya dengan melakukan keburukan itu sendiri.” (Tafsirul Munir, [Beirut, Darul Fikr al-Mu’ashir, 1418], jilid VI, hlm. 7).

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Dalam suatu hadits, Rasulullah saw juga pernah mengemukakan bahwa Allah tidak suka dengan lisan yang kotor dan kasar. 


 مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ


Artinya, “Sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang paling berat di timbangan kebaikan seorang orang beriman pada hari kiamat seperti akhlak yang mulia, dan sungguh Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar.” (HR Tirmidzi)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Hadits tersebut memiliki makna bahwa akhlak yang baik menjadi faktor utama beratnya timbangan amal manusia kelak di akhirat. Di samping itu, Allah juga membenci orang yang lisannya kotor dan kasar, maksudnya adalah orang-orang yang suka berkata buruk.


Berdasarkan penjelasan tersebut, hendaknya seorang pemimpin teladan mampu menjaga lisannya dari kata-kata yang tidak pantas diucap di depan publik, serta memikirkan dampak sosial yang ditimbulkan dari tutur kata yang diucapkannya.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND