• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Selasa, 23 April 2024

Opini

Keberkahan Ilmu

Keberkahan Ilmu

Oleh A Jabbar Hubbi*

Dalam khazanah pesantren banyak hal yang dipercaya bersifat faktor X — atau yang sering diasumsikan sebagai hal di luar nalar, yang salah satunya adalah sesuatu yang disebut berkah. Dalam pengertian umum, barakah bisa diartikan dengan “ziyaadatul khair” (bertambahnya kebaikan). Bertambahnya kebaikan atau keberkahan dalam hidup bisa berupa banyak hal, cuma acap kali makna barakah itu kita persempit hanya sesuai dengan apa yang diinginkan, sehingga parameter yang dipakai dalam mengukur berkah tidaknya sesuatu adalah yang bersifat kuantitas.

Ruang lingkup barakah tidaklah sebatas pada soal hal cukup dan mencukupi, banyak tidaknya sesuatu, tapi lebih dari itu barakah adalah meningkatnya ketaatan seseorang kepada Allah pada segala keadaan yang ada, baik di saat berlimpah atau sebaliknya. “Albarakatu tuziidukum fi tha’ah” (barakah ialah yang menambah taatmu kepada Allah).

Barakah bukanlah ketika dagangan yang laku keras dan banyak keuntungan finansial, karena dagangan yang selalu rugi terkadang bisa menghantarkan seseorang untuk lebih istiqamah dalam menghambakan diri kepada Allah.

Pun ilmu yang barakah bukanlah yang banyak riwayat dan catatan kakinya, bukan yang banyak prestasi akademisnya, tapi ilmu yang mampu menjadikan seorang meneteskan keringat dan darahnya dalam beramal dan berjuang di jalan Allah, yang mampu menghantarkan seseorang untuk semakin takut kepada Allah dan semakin mendekat kepadaNya.

Banyak kisah santri yang di saat masih mondok di pesantren termasuk terbelakang dalam keilmuan, kurang pandai, namun tetap tekun belajar, berakhlaq karimah dan istiqamah mengabdi kepada gurunya. Ketika santri tersebut tiba saatnya pulang dan terjun di tengah masyarakat justru menjadi orang yang “berhasil”. Ilmu yang saat di pesantren tidak dipahami olehnya, ketika sudah dibutuhkan ternyata mampu ia sampaikan dengan jelas dan lancar. Inilah mungkin yang dalam istilah santri dengan meminjam istilah tasawuf disebut “al-futuh” (terbukanya pemahaman melalui hati).

Belajar dengan tekun dan giat saja belumlah cukup, tapi juga harus menanggung kesusahan yang ditemui saat ia dalam proses belajar, karena sejatinya belajar bukan hanya lewat buku dan kitab, namun lebih dari itu – belajar lewat laku, belajar bertindak, merasakan pahit getirnya pengabdian. Kerna segala yang dialami dalam pencarian ilmu adalah merupakan bagian dari perjuangan untuk manusia yang lebih manusia.

Dalam syairnya Imam Syafi’i mengatakan, “Siapa tidak mencicipi pahitnya belajar, ia akan menelan hinanya kebodohan selama hidup. Siapa waktu mudanya tidak sempat belajar, bacakan takbir empat kali untuk kematiannya.”

Banyak kisah yang pernah saya dengar dan baca berulang-ulang tentang kiai-kiai besa yang menjadi panutan umat, rata-rata para beliau adalah para “pejuang” tangguh bukan hanya dalam soal ketekunan belajar, tapi lebih dari itu – totalitas dalam mengabdikan diri kepada guru dan orang-orang yang terkait dengannya.

Kita teringat bagaimana kisah Mbah Hasyim saat diperintah oleh gurunya mencari cincin bunyai yang hilang kecemplung di (jumbleng) septic tank, tanpa ragu dan berkilah, beliau langsung menceburkan diri dan menyelam ke dalam (jumbleng) septic tank, sampai akhirnya cincin tersebut ketemu dan diserahkan kepada gurunya.

Saya jadi teringat dengan apa yang pernah diceritakan oleh guru saya, “Kalau santri ingin pintar dan banyak ilmu, tekunlah belajar dan ngaji. Kalau ingin ilmunya manfaat, ya harus dibarengi dengan tirakat dan riyadlah (olah jiwa). Kalau ingin ilmunya manfaat dan barokah ya harus mencari ridhlanya guru.

Ini berbanding terbalik saat kita lihat fenomena kekinian, di mana banyak bermunculan ahli ilmu, mempelajari ribuan kitab, tapi tak pernah sama sekali mendatangi dan menyelami jiwanya, menyentuh apa yang ada dalam hatinya. Hingga yang terjadi kemudian – mudah menyerang lian yang tidak sepaham dengannya, mudah menyalahkan dan menghakimi, memaksakan kebenaran dirinya sendiri untuk diterima dan diikuti.
Wallaahu a’lam

*Penulis adalah pengajar di Madrasah Muallimin Muallimat Bahrul Tambakberas, Jombang

Artikel ini juga sudah terbit di NU Online (www.nu.or.id) pada Ahad 8 Juli 2018 dengan judul Faktor X dan Keberkahan Ilmu


Editor:

Opini Terbaru