• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Senin, 29 April 2024

Fiqih

Pandangan Ulama tentang Hukum Menelan Sperma

Pandangan Ulama tentang Hukum Menelan Sperma
Ilustrasi seseorang sedang mencuci pakaian. (Foto: Freepik)
Ilustrasi seseorang sedang mencuci pakaian. (Foto: Freepik)

Mungkin menjadi bahasan yang tabu, tapi kerap kali didengar terkait menelan sperma, baik di sosial media ataupun di dunia nyata. Sejumlah pandangan akhirnya mengemuka, misalnya dari aspek kesehatan, disebutkan bahwa sperma berfungsi sebagai peremajaan pada kulit bagi orang yang menelannya. Di samping itu, sperma juga membantu menambah nutrisi pada kesehatan tubuh. Pandangan semacam ini tentu masih perlu dikonfirmasi lebih jauh tentang keabsahannya kepada para ahli di bidang kesehatan. 


Tulisan ini, akan fokus pada cara pandangan ulama tentang hukum menelan sperma. Sperma atau mani adalah cairan yang keluar dari kemaluan dengan keadaan memancar dan berwarna putih. Cairan ini dapat keluar biasanya diiringi dengan rasa nikmat dan dibarengi dengan syahwat. Sperma dapat keluar dalam keadaan sadar, seperti karena berhubungan suami-istri, ataupun dalam keadaan tidur, biasa dikenal dengan sebutan “ihtilam” atau mimpi basah. Keluarnya sperma menyebabkan seseorang harus mandi besar.


Lalu bagaimana sebenarnya hukum menelan sperma? Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarh Al-Muhadzab juz 2 halaman 556 menyebutkan:


هَلْ يَحِلُّ أَكْلُ الْمَنِيِّ الطَّاهِرِ؟ فِيْهِ وَجْهَانِ. الصَّحِيْحُ الْمَشْهُوْرُ: أَنَّهُ لَا يَحِلُّ، لِأَنَّهُ مُسْتَخْبَثٌ، قَالَ تَعَالَى: {وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ} (الأعراف:157). وَالثَّانِيْ: يَجُوْزُ، وَهُوَ قَوْلُ الشَّيْخِ أَبِيْ زَيْدٍ الْمَرُوْزِيْ، لِأَنَّهُ طَاهِرٌ لَا ضَرَرَ فِيْهِ


Artinya, “Apakah boleh memakan sperma yang suci? Ada dua pendapat; pendapat yang shahih dan masyhur adalah tidak halal, karena sperma dianggap menjijikkan. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Diharamkan bagi kalian, hal-hal yang menjijikkan”. Pendapat kedua: boleh. Ini adalah pendapat syaikh Abi Zaid al-Maruzi. Alasannya, sperma itu suci, tidak membahayakan.”


Penjelasan di atas tentu belum bisa memberikan cara pandang yang utuh bila tidak mengetahui detail tentang dasar pandangan ulama menetapkan sperma adalah suci sehingga boleh-boleh saja menelannya. Sebaliknya, ditetapkan tidak halal menelan sperma karena sifatnya menjijikkan bahkan sebagian ulama dengan tegas menghukumi sperma najis.


Perbedaan pandangan tersebut setidaknya bisa ditelusuri dari cara ulama menafsirkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam riwayat Umrah dari Aisyah radhiyallahu anha:


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كُنْتُ أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا كَانَ يَابِسًا وَأَغْسِلُهُ إذَا كَانَ رَطْبًا


Artinya, "Dari ‘Aisyah, ia berkata: Aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika ia kering, dan mencucinya (membasuhnya) jika ia basah.” (HR Daruquthni). 


Bersandar pada hadits ini, Imam Malik, Abu Hanifah, Tsauri, dan Auza’i menyatakan bahwa sperma hukumnya najis (Lihat: Syarh Fathul Qadir, juz I, halaman 197). Jika ia mengenai anggota tubuh atau pakaian maka wajib disucikan. Hanya saja, menurut Abu Hanifah, jika sperma itu sudah kering, cara menyucikannya cukup dikerik (digosok). Sedangkan menurut Malik dan Auza’i, cara menyucikannya adalah dengan membasuhnya (mencucinya), baik sperma tersebut dalam keadaan masih basah atau sudah kering.


Hadits di atas menjelaskan, Aisyah mengerik atau mencuci pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang terkena sperma. Ini menunjukkan bahwa sperma itu najis. Sebab jika sperma itu suci, Aisyah tidak akan mengeriknya atau mencucinya. Perbuatan Aisyah tersebut dilakukan berkali-kali, sehingga kemungkinan besar Nabi mengetahuinya, tetapi membiarkannya, sebagai pertanda beliau menyetujuinya.


Di samping hadits, mereka juga berpedoman pada dalil akal bahwa sperma keluar melalui lubang keluarnya air kencing. Lubang tersebut dihukumi najis sebab terkena air kencing. Sehingga, sperma juga dihukumi najis karena terkena najisnya lubang dimaksud.


Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Sufyan al-Tsauri, Ibnu Hazm, dan Daud al-Dzahiri yang menegaskan bahwa sperma itu suci (Lihat: Raudhatut Thalibin, juz I, halaman 17). Mereka berpegangan pada hadits riwayat Al-Aswad bin Yazid dari Aisyah radhiyallahu anha:


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كُنْتُ أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُصَلِّي فِيهِ


Artinya, "Dari ‘Aisyah, ia berkata: Aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia shalat dengan pakaian itu.” (HR. Jama’ah, kecuali Imam Bukhari)


Pada hadits di atas, Aisyah mengerik sperma dari pakaian Rasul kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut. Ini menunjukkan bahwa sperma tidak najis. Karena jika sperma dihukumi najis maka cara menyucikannya tidak dengan mengeriknya, melainkan dengan mencucinya, sebagaimana darah, madzi, dan sebagainya.


Kelompok ini membantah pemahaman kelompok pertama terhadap hadits Umrah dari Aisyah di atas, bahwa mengerik sperma tidak berarti sperma itu najis. Mengerik sperma bisa untuk tujuan kebersihan atau memperoleh kesunnahan belaka.


Mereka juga membantah dalil akal yang digunakan kelompok pertama, bahwa keluarnya sperma dari lubang kencing tidak otomatis membuatnya najis. Sebab permasalahan suci dan najis hanya terkait pada hal-hal yang ada di luar tubuh manusia, bukan hal-hal yang masih ada dalam tubuhnya. Karenanya, persentuhan sperma dengan benda najis yang terjadi dalam tubuh seseorang tidak membuatnya najis, berbeda jika persentuhan tersebut terjadi di luar tubuhnya.


Sebaliknya, kelompok pertama juga menyanggah pemahaman kelompok kedua terhadap hadits riwayat Al-Aswad bin Yazid dari Aisyah, bahwa hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits yang dijadikan sandaran oleh kelompok pertama. Dalam keadaan seperti ini, hadits kelompok pertama lebih diunggulkan daripada hadits kelompok kedua, sebagaimana kaidah:


إَذَا حَدَثَ تَعَارُضٌ بَيْنَ دَلِيْلٍ مُبِيْحٍ وَدَلِيْلٍ مُحَرِّمٍ فَإِنَّ الْمُحَرِّمَ يُقَدَّمُ عَلَى الْمُبِيْحِ


Artinya, “Jika terjadi pertentangan antara dalil yang membolehkan dengan dalil yang mengharamkan, maka dalil yang mengharamkan didahulukan daripada dalil yang membolehkan.”


Akan tetapi, kelompok kedua membantah sanggahan ini dan menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara hadits-hadits tersebut, sebab hadits-hadits itu bisa dipahami secara bersamaan (al-jam’u baina al-adillah), yaitu bahwa mencuci sperma dilakukan untuk kebersihan semata sedangkan mengeriknya saja sudah dianggap cukup untuk menyucikannya.


Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat yang menegaskan kesucian sperma merupakan pendapat yang kuat. Karena, jika sperma dihukumi najis maka untuk menyucikannya tidak cukup dengan mengeriknya, melainkan harus mencucinya. (Lihat: Muhammad Ra’fat Usman, Muqaranatul Madzahib Al-Islamiyyah, Kairo: Al-Azhar Press, t.t, halaman 45-55).


Wallahu A’lam.


*Artikel ini diambil dan diolah berdasarkan tulisan yang dimuat NU Online dengan judul "Beda Pendapat Para Ulama tentang Hukum Sperma"


Editor:

Fiqih Terbaru