Syariah

Pahami Perbedaan Kurban Sunnah dan Kurban Wajib

Senin, 12 Mei 2025 | 07:00 WIB

Pahami Perbedaan Kurban Sunnah dan Kurban Wajib

Ilustrasi pasangan suami istri hendak berkurban sapi. (Foto: Freepik)

Ibadah kurban atau udhhiyah dalam pengertian syara' adalah menyembelih hewan dengan tujuan beribadah kepada Allah pada Hari Raya Haji atau Idul Adha dan tiga Hari Tasyriq.


Ibadah kurban hukumnya adalah sunnah muakkad, atau sunnah yang dikuatkan. Nabi Muhammad saw tidak pernah meninggalkan ibadah kurban sejak disyariatkannya sampai beliau wafat.


Meski demikian, hukum kurban yang asalnya sunnah bisa menjadi wajib apabila dinazari. Maka wajib baginya untuk mengeluarkan hewan kurban sebagaimana yang ia nazarkan.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Ibadah kurban sunnah dan kurban wajib ini memiliki persamaan dan perbedaan, seperti dilansir dari NU Online ditulis M Mubasysyarum Bih. Keduanya memiliki kesamaan dalam 4 hal, yakni (1) syarat, (2) rukun, (3) kesunnahan, dan (4) waktu penyembelihan di tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Sedangkan perbedaannya adalah dari 4 aspek berikut ini: 


Pertama, hak mengonsumsi daging bagi pelaksana kurban (mudlahhi)  

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Dalam kurban sunnah, diperbolehkan bagi mudlahhi (orang yang berkurban) untuk memakannya. Namun yang lebih utama adalah memakan beberapa suap saja untuk mengambil keberkahan dan menyedekahkan sisanya (lihat: Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135).


Sementara kurban wajib, mudlahhi haram memakannya, sedikit pun tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi secara pribadi. Keharaman memakan daging kurban wajib juga berlaku untuk segenap orang yang wajib ditanggung nafkahnya oleh mudlahhi, seperti anak, istri, dan lain sebagainya. 

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Menurut Syekh Muhammad Nawawi bin Umar menegaskan:  


 ولا يأكل المضحي ولا من تلزمه نفقته شيأ من الأضحية المنذورة حقيقة أو حكما

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Artinya, “Orang berkurban dan orang yang wajib ia nafkahi tidak boleh memakan sedikitpun dari kurban yang dinazari, baik secara hakikat atau hukumnya”. (Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, Tausyikh ‘Ala Ibni Qasim, hal. 531).


Kedua, kadar yang wajib disedekahkan.


Menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, standar minimal yang wajib disedekahkan dalam kurban sunnah adalah kadar daging yang mencapai standar kelayakan pada umumnya, misalnya satu kantong plastik daging. Dianggap kurang tepat memberikan kadar yang remeh seperti satu atau dua suapan. 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Kadar daging paling minimal tersebut wajib diberikan kepada orang fakir/miskin, meski hanya satu orang. Sementara lebihnya, mudlahhi diperkenankan untuk memakannya sendiri atau diberikan kepada orang kaya sebatas untuk dikonsumsi. Kadar minimal yang wajib disedekahkan tersebut wajib diberikan dalam kondisi mentah, tidak mencukupi dalam kondisi masak (lihat: Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135).


Sementara kurban wajib, semuanya harus disedekahkan kepada fakir/miskin tanpa terkecuali, tidak diperkenankan bagi mudlahhi dan orang-orang yang wajib ia nafkahi untuk memakannya. Demikian pula tidak diperkenankan diberikan kepada orang kaya. Daging yang diberikan juga disyaratkan harus mentah (lihat: Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi, Hasyiyah Ibni Qasimala Tuhfah al-Muhtaj, juz 9, hal. 363). 


Ketiga, pihak yang berhak menerima. 


Kurban sunnah, boleh diberikan kepada orang kaya dan fakir/miskin. Hanya saja, terdapat perbedaan hak orang kaya dan miskin atas daging kurban yang diterimanya. Kurban yang diterima fakir/miskin bersifat tamlik, yaitu memberi hak kepemilikan secara penuh. Kurban yang ia terima boleh dijual, dihibahkan, disedekahkan, dimakan dan lain sebagainya. 


Sedangkan hak orang kaya atas daging kurban yang diterimanya hanya untuk tasaruf yang bersifat konsumtif.


Sementara kurban wajib hanya berhak diterima fakir/miskin, mudlahhi dan orang kaya tidak berhak menerimanya. Semuanya meliputi daging, kulit, tanduk dan Sebagainya wajib disedekahkan kepada fakir/miskin tanpa terkecuali. Bila ada bagian kurban yang distribusinya tidak tepat sasaran, maka wajib mengganti rugi untuk fakir/miskin. 


Keempat, niat bagi pelaksana kurban. 


Kurban sunnah dan wajib diperbolehkan untuk disembelih sendiri oleh mudlahhi, boleh pula diwakilkan kepada orang lain. Keduanya sama-sama disyaratkan niat. Niat bisa dilakukan saat menyembelih atau ketika memisahkan hewan yang ingin dibuat kurban dengan hewan lainnya. Niat berkurban boleh dilakukan sendiri atau diwakilkan kepada orang lain.


Dalam hal lain juga dianggap kurban nazar apabila ditentukan hewannya, misalnya ada orang sambil menunjuk hewan tertentu yang dimilikinya berkata “Aku bernazar berkurban dengan kambingku yang ini”. Dalam kasus ini, kambing yang ia tunjuk sebagai kurban nazar sudah keluar dari miliknya.


Oleh sebab itu tidak dibutuhkan niat berkurban dalam pelaksanaan kurban kambing tersebut. Jadi dalam kasus tertentu, terkadang kurban wajib tidak disyaratkan niat, sedangkan kurban sunnah disyaratkan niat secara mutlak (lihat: Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri, Syarh al-Yaqut an-Nafis, Dar al-Minhaj, hal.  827).

ADVERTISEMENT BY ANYMIND