• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Selasa, 30 April 2024

Fiqih

Hukum Sungkeman saat Momen Lebaran, Benarkah Dilarang?

Hukum Sungkeman saat Momen Lebaran, Benarkah Dilarang?
Tradisi sungkeman saat lebaran. (Foto: Freepik)
Tradisi sungkeman saat lebaran. (Foto: Freepik)

Sungkeman kerap ditemui saat momentum lebaran Hari Raya Idul Fitri. Sungkeman biasanya dilakukan oleh anak kepada orang tuanya dengan cara jongkok kemudian mencium tangannya, sembari menyampaikan permohonan maaf, ucapan terima kasih, atau hal yang serupa. Hal ini juga sering dilakukan oleh seseorang kepada yang lebih tua, seperti sanak saudara ataupun kepada guru-gurunya.


Ustadz M Mubasysyarum Bih dalam artikelnya di NU Online berjudul 'Tradisi Sungkeman saat Lebaran Menurut Hukum Islam' menjelaskan bahwa tradisi sungkeman setidaknya bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, hukum asal. Kedua, dari sudut pandang tradisi.


Dalam tulisan itu ditegaskan bahwa hukum asal sungkeman sama sekali tidak bertentangan dengan syariat. Posisi jongkok sambil cium tangan merupakan ekspresi memuliakan orang yang lebih tua.


Syariat tidak melarang mengagungkan manusia selama tidak dilakukan dengan gerakan yang menyerupai bentuk takzim kepada Allah, seperti sujud dan ruku'.


Ia kemudian mengutip pandangan Imam Al-Nawawi dalam kitab Raudlah al-Thalibin yang menyebutkan kebolehan mencium tangan seseorang karena beberapa faktor, seperti karena kezuhudannya, keilmuannya, dan faktor usia lebih tua.


"Tidak makruh mencium tangan karena kezuhudan, keilmuan dan faktor usia yang lebih tua," demikian keterangan Imam Al-Nawawi yang dikutip Ustadz M Mubasysyarum Bih dalam tulisannya.


Pendapat lain, lanjut dia, menyebutkan bahwa ekspresi takzim kepada orang yang lebih tua hukumnya sunnah, seperti dilakukan dengan cara berdiri dengan tujuan memuliakan dan kebaktian. Pandangan ini sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin.


Lebih jauh, Syekh Syihabuddin al-Qalyubi dalam Hasyiyah al-Qalyubiala al-Mahalli menyampaikan pandangan sebagian ulama yang justru mewajibkan memuliakan kerabat dengan cara berdiri, ketika meninggalkannya dianggap memutus tali silaturahim.


"Sebagian ulama berpendapat wajibnya berdiri (memuliakan) pada masa sekarang, karena meninggalkannya merupakan bentuk perbuatan yang memutus tali silaturahim," demikian penggalan pandangan ulama yang disampaikan Syekh Syihabuddin al-Qalyubi.


Dilihat dari sudut pandang tradisi, sungkeman patut dilestarikan karena tidak bertentangan dengan ajaran agama. Para pendahulu telah mewariskan budaya ini dengan demikian baik. 


Satu sisi, menurut Ustadz M Mubasysyarum Bih tradisi sungkeman ini sebagai bentuk pengejawentahan dari sabda Nabi tentang berbudi pekerti yang baik kepada sesama. 


 وخالق الناس بخلق حسن


Artinya, “Berbudilah dengan akhlak yang baik kepada manusia.” (HR. Al-Tirmidzi)


Mengutip pernyataan Sayyidina Ali, Ustadz M Mubasysyarum Bih menyampaikan, melestarikan tradisi yang masih beririsan dengan nilai-nilai agama adalah sebuah etika yang baik. 


Sebaliknya, meninggalkan tradisi yang tidak haram merupakan akhlak yang tidak terpuji, sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Muflih. 


Kesimpulannya, sungkeman bukan merupakan tradisi yang haram, bahkan menjaga tradisi tersebut merupakan bentuk pengamalan dari sabda Nabi tentang anjuran beretika yang baik kepada sesama.


Editor:

Fiqih Terbaru