• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Senin, 29 April 2024

Fiqih

Hukum Memperingati Maulid Nabi menurut Ulama 4 Mazhab

Hukum Memperingati Maulid Nabi menurut Ulama 4 Mazhab
Ilustrasi. (Foto: NU Online)
Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Saat ini, dalam kalender hijriah umat Islam telah memasuki bulan mulia Rabiul Awwal atau yang sering disebut Maulud (dilahirkan) atau bulan Maulid (waktu kelahiran). Sebab pada bulan ini manusia paling mulia Nabi Muhammad dilahirkan, tepatnya pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 570 M di Makkah. 

 

Kaum Muslim sepakat bahwa mencintai Rasulullah dan bershalawat untuknya adalah ajaran penting dalam Islam. Tetapi ada juga yang berpendapat, membaca shalawat hanya boleh dalam formula tertentu yang diajarkan Nabi. Sebaliknya, yang lain justru menciptakan seni bershalawat, dari puisi dan prosa hingga tabuhan musik dan alunan suara.

 

Selain itu, peringatan maulid kadang berbaur dengan budaya yang diduga kuat berasal dari tradisi lokal pra-Islam. Misalnya, Muludhen di Madura, Bungo Lado di Minang, Kirab Ampyang di Kudus, Gunungan di Jombang, dan sebagian masyarakat lain menggunakan tradisi Grebeg Maulud. 

 

Tradisi-tradisi itu memiliki kesamaan, yaitu sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran manusia istimewa Nabi Muhammad Saw. Lalu, bagaimanakah hukum memperingati hari lahir Nabi Muhammad Saw?

 

Melansir dalam tulisan yang dimuat NU Online berjudul Beda Pendapat Ulama soal Peringatan Maulid Nabi, para ulama berbeda pendapat tentang hukum permasalahan ini. Pertama, mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menegaskan bahwa peringatan maulid diperbolehkan, bahkan disunnahkan. 

 

Berikut ini kutipan pendapat para ulama tersebut. Syekh Ahmad Ibnu Abidin berkata:

 

اِعْلَمْ أَنَّ مِنَ الْبِدَعِ الْمَحْمُوْدَةِ عَمَلَ الْمَوْلِدِ الشَّرِيْفِ مِنَ الشَّهْرِ الَّذِي وُلِدَ فِيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ

 

Artinya, “Ketahuilah bahwa di antara bid’ah-bid’ah yang terpuji adalah melaksanakan maulid Nabi yang mulia pada bulan dilahirkannya Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wa’alihi wasallam” (Ahmad Ibnu Abidin, Natsrud Durar Ala Maulidi Ibni Hajar, juz 3, h. 391).

 

Syekh Ibnul Haj dari mazhab Maliki menyatakan: 

 

فَكَانَ يَجِبُ أَنْ نَزْدَادَ يَوْمَ الْاِثْنَيْنِ الثَّانِي عَشَرَ فِي رَبِيْعِ الْأَوَّلِ مِنَ الْعِبَادَاتِ وَالْخَيْرِ؛ شُكْراً لِلْمَوْلَى عَلَى مَا أَوْلَانَا مِنْ هَذِهِ النِّعَمِ الْعَظِيْمَةِ، وَأَعْظَمُهَا مِيْلَادُ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

 

Artinya, "Maka wajib bagi kita pada hari Senin tanggal dua belas Rabiul Awwal menambah ibadah dan kebaikan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas apa yang dianugerahkan kepada kita berupa nikmat-nikmat besar ini, terutama nikmat kelahiran Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wa’alihi wasahbihi wasallam". (Ibnul Haj Al-Maliki, Al-Madkhal, juz 1, h. 361). 

 

Imam Jalaluddin Assuyuthi dari mazhab Syafi’i menyebutkan: 

 

هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا؛ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالْاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ

 

Artinya, “Ia (peringatan maulid Nabi) merupakan bid’ah hasanah yang pelakunya memperoleh pahala, sebab hal itu sebagai bentuk mengagungkan kemulian Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wa’alihi wasahbihi wasallam, dan mengungkapkan rasa bahagia akan kelahiran Nabi mulia”. (Jalaluddin Assuyuthi, Al-Hawi Lilfatawa, juz 1, h. 292). 

 

Syekh Zaini Dahlan juga menyebutkan: 

 

وَمِنْ تَعْظِيْمِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ الْفَرَحُ بِلَيْلَةِ وِلَادَتِهِ، وَقِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ

 

Artinya, "Di antara cara memuliakan Nabi Saw adalah berbahagia di malam kelahirannya, dan membaca maulid." (Zaini Dahlan, Addurarus Saniyyah, h. 190). 

 

Senada dengan para ulama di atas, seorang ulama bermazhab Hanbali, syekh Ibnul Jauzi Al-Hanbali menerangkan: 

 

مِنْ خَوَاصِهِ أَنَّهُ أَمَانٌ فِي ذَلِكَ الْعَامِ وَبُشْرَى عَاجِلَةً بِنَيْلِ الْبُغْيَةِ وَالْمَرَامِ

 

Artinya, “Di antara keistimewaan peringatan maulid adalah bahwa hal itu (diharapkan) memberikan rasa aman pada tahun itu, dan kabar bahagia akan tercapainya harapan dan tujuan” (Muhammad bin Abdul Baqi Al-Zarqani, Syarhul Allamah Azzarqani Bisyarhil Mawahib Al-Laduniyyah, 262; Usman bin Syatha Al-Bakri, I’anatut Thalibin, juz 3, h. 414). 

 

Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki menyatakan, peringatan maulid Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wasallam tidak diperbolehkan, karena merupakan bid’ah. 

 

Syekh Tajuddin Al-Fakihani menuturkan:

 

لَا أَعْلَمُ لِهَذَا الْمَوْلِدِ أَصْلَا فِي كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ، وَلَا يُنْقَلُ عَمَلُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ عُلَمَاءِ الْأُمَّةِ، الَّذِيْنَ هُمُ الْقُدْوَةُ فِي الدِّيْنِ، الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِآثَارِ الْمُتَقَدِّمِيْنَ، بَلْ هُوَ بِدْعَةٌ

 

Artinya, “Saya tidak mengetahui dalil dari Al-Qur’an dan Hadis tentang peringatan maulid ini, dan tidak pula diceritakan riwayat tentang pelaksanaannya oleh salah satu ulama, di mana para ulama tersebut merupakan tuntunan dalam hal agama, yang senantiasa berpegang teguh pada warisan orang-orang terdahulu. Bahkan peringatan maulid adalah bid’ah” (Tajuddin Al-Fakihani, Al-Mawrid Fi Amalil Maulid, h. 20) 

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum memperingati maulid Nabi Muhammad Saw. Mayoritas ulama dari Mazhab Empat, meliputi mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa hukum memperingatinya adalah boleh, bahkan sunnah. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki menghukuminya tidak boleh, sebab termasuk bid’ah. 

 

Dari kedua pendapat tersebut, tampaknya pendapat yang memperbolehkan peringatan maulid Nabi merupakan pendapat yang sangat kuat, sebab merupakan pendapat mayoritas ulama dari Empat Mazhab. 

 

Sementara itu, Allah SWT berfirman:

 

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

 

Artinya, "Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (Yunus: 58). 

 

Ibnu Abbas menafsiri kata “fadhlullah” dengan ilmu Allah, dan “rahmatihi” dengan Rasulullah. Artinya, kita diperintahkan untuk berbahagia atas adanya “rahmatihi”, yaitu Rasulullah. Sedangkan, inti dari peringatan maulid Nabi adalah ungkapan bahagia atas kelahiran baginda Rasulullah.

 

Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan disyariatkannya peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. Terakhir, penulis mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah tentang hukum peringatan maulid Nabi. 

 

Sebagaimana diketahui, Ibnu Taimiyyah adalah rujukan utama bagi sebagian umat Islam yang selama ini mengharamkan peringatan maulid Nabi. Beliau menulis:

 

فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِماً قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ، وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

 

Artinya, "Maka memuliakan maulid, dan menjadikannya sebagai kebiasaan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang. Dan baginya, pahala yang besar atas hal itu, karena baiknya niat, dan penghormatannya kepada Rasulullah shallallahu a’laihi wa’alihi wasahbihi wasallam." (Ibnu Taymiyyah, Iqtidhaus Shiratil Mustaqim fi Mukhalafati Ashhabil Jahim, juz 1, h. 297). 

 

Adanya keragaman pendapat ulama terkait hukum memperingati maulid Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wasallam ini semoga semakin menambah keyakinan kita bahwa perbedaan itu merupakan sunnatullah, maka harus disikapi dengan dewasa dan bijaksana. 


Editor:

Fiqih Terbaru