Belakangan ini media sosial dipenuhi oleh perbincangan seputar vasektomi. Pemicu utamanya datang disebabkan beberapa tokoh publik yang menyampaikan pandangan pribadinya perihal prosedur ini. Tentu saja, hal itu menyulut respons beragam dari warganet, sebagian menanggapinya dengan dukungan dan apresiasi, sementara yang lain melontarkan kritik tajam. Diskusi pun meluas, mulia dari ruang medis, hingga merambah ke wilayah etika, budaya, hingga agama.
Secara sederhana, vasektomi adalah prosedur medis yang dilakukan untuk mencegah pria mengeluarkan sperma saat ejakulasi. Caranya adalah dengan memotong atau menutup saluran vas deferens, yaitu saluran yang membawa sperma dari testis menuju penis. Prosedur ini tergolong kontrasepsi permanen, karena setelah dilakukan, peluang untuk bisa kembali memiliki keturunan menjadi sangat kecil, meskipun ada upaya rekonstruksi.
Respons masyarakat terhadap isu ini sangat beragam. Sebagian orang menganggap vasektomi sebagai bentuk tanggung jawab dalam mengatur jumlah anak sesuai kemampuan. Mereka menilai bahwa tidak semua keluarga mampu membesarkan banyak anak secara layak, baik secara finansial maupun emosional.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Namun di sisi lain, banyak pula yang menolaknya mentah-mentah, menganggapnya sebagai bentuk penolakan terhadap rezeki atau tindakan yang terlalu jauh dalam mengatur hidup.
Lantas, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap vasektomi? Apakah prosedur ini tergolong haram, atau ada ruang tertentu di mana ia bisa dianggap boleh?
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Untuk mengetahuinya lebih jelas, berikut penulis akan mencoba menguraikan jawaban-jawaban menurut ulama lintas mazhab, agar kita memiliki pandangan luas tentang hukum vasektomi yang sedang viral ini.
Hukum Vasektomi
Pembahasan perihal pengendalian kelahiran, termasuk tindakan yang bersifat permanen seperti sterilisasi, vasektomi, tubektomi, dan yang lain sejatinya bukanlah hal baru dalam Islam. Para ulama telah menaruh perhatian pada isu ini dalam kerangka fiqih keluarga dan hak-hak reproduksi, dan kajian ini terus berlanjut hingga era kontemporer saat ini.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Termasuk juga di Indonesia, para kiai telah membahas hukum tersebut melalui forum-forum bahtsul masail, kemudian merumuskan hukumnya. Salah satunya adalah sebagaimana dapat ditemukan dalam Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-28 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, pada 26–29 Rabiul Akhir 1410 H (25–28 November 1989 M), yang merumuskan:
“Penjarangan kelahiran melalui cara apapun tidak dapat diperkenankan, kalau mencapai batas mematikan fungsi berketurunan secara mutlak. Karenanya sterilisasi yang diperkenankan hanyalah yang bersifat dapat dipulihkan kembali kemampuan berketurunan dan tidak sampai merusak atau menghilangkan bagian tubuh yang berfungsi.” (Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha, [Surabaya, Khalista: 2019], halaman 448).
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Keputusan di atas merujuk pada kitab Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Fathil Qarib, [Beirut, Darul Fikr: t.t], jilid II, halaman 95; kitab Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: t.t], jilid VIII, halaman 443; dan kitab Ghayah Talkhisil Murad pada Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut, Darul Fikr: t.t], 247.
Namun untuk memahami pemahaman yang lebih luas dan pendapat para ulama lintas mazhab, berikut ini penulis akan menyajikan pendapat-pendapat para ulama lintas mazhab, mulai dari mazhab Syafi’iyah hingga mazhab-mazhab yang lain.
Pertama: Mazhab Syafi’i
Berkaitan dengan vasektomi, Syekh Sulaiman Al-Jamal dari kalangan ulama Syafi’iyah menjelaskan bahwa hukumnya tidak diperbolehkan dan haram, karena tindakan tersebut termasuk dalam kategori usaha yang memutus kemungkinan kehamilan secara total. Dengan kata lain, vasektomi menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan untuk memiliki keturunan selamanya, dan hal ini bertentangan dengan tujuan syariat dalam menjaga kelangsungan keturunan.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Adapun jika tindakan itu hanya dimaksudkan untuk menunda kehamilan dalam jangka waktu tertentu, tanpa menghilangkan potensi untuk memiliki keturunan secara permanen, maka hukumnya tidak haram.
Meski demikian, tindakan seperti ini tetap dihukumi makruh, kecuali jika didasari oleh alasan yang dapat dibenarkan secara syariat, seperti keperluan merawat dan mendidik anak yang sudah ada. Jika tanpa alasan, maka hukumnya makruh:
وَيَحْرُمُ مَا يَقْطَعُ الْحَبَلَ مِنْ أَصْلِهِ أَمَّا مَا يُبْطِئُ الْحَبَلَ مُدَّةً وَلَا يَقْطَعُهُ مِنْ أَصْلِهِ فَلَا يَحْرُمُ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ بَلْ إنْ كَانَ لِعُذْرٍ كَتَرْبِيَةِ وَلَدٍ لَمْ يُكْرَهْ أَيْضًا، وَإِلَّا كُرِهَ. اهـ
Artinya, “Dan diharamkan sesuatu yang memutus kehamilan dari asalnya (secara permanen). Adapun sesuatu yang hanya memperlambat kehamilan untuk suatu masa dan tidak memutuskannya dari asalnya, maka tidak haram sebagaimana tampak jelas. Bahkan, jika ada uzur seperti untuk mendidik anak, maka tidak makruh pula. Namun jika tanpa alasan tersebut, maka hukumnya makruh.” (Hasyiyatul Jamal ‘ala Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: t.t], jilid IV, halaman 447).
Pendapat yang sama juga tercatat dalam catatan kaki kitab Ma’rifatus Sunan wal Atsar lil Baihaqi, yang ditahqiq oleh Syekh Dr Abdul Mu’thi Amin, salah satu ahli tahqiq yang berfokus pada kitab-kitab hadits karya Imam Al-Baihaqi dan pendapat-pendapat Imam As-Syafi’i.
Dalam footnote kitab ia mengutip pendapat Az-Zarkasyi yang mengatakan bahwa mengonsumsi obat-obatan yang bisa memperlambat kehamilan hukumnya boleh sepanjang tidak permanen:
قَالَ الزَّرْكَشِيُّ: يَجُوْزُ اسْتِعْمَالُ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَبْلِ فِي وَقْتٍ دُوْنَ وَقْتٍ كَالْعَزْلِ، وَلاَيَجُوْزُ التَّدَاوِي لِمَنْعِ الْحَبْلِ بِالْكُلِّيَّةِ
Artinya, “Az-Zarkasyi berkata: 'Boleh menggunakan obat untuk mencegah kehamilan pada waktu tertentu, seperti halnya azl (coitus interruptus), namun tidak boleh menggunakan pengobatan yang bertujuan mencegah kehamilan secara total (permanen)'.” (Catatan Kaki Ma’rifatus Sunan wal Atsarl il Baihaqi, [Kairo, Darul Wa’yi: 1991, tahqiq: Abdul Mu’thi Amin], jilid X, halaman 204).
Kedua: Mazhab Maliki
Syekh Muhammad bin Ahmad bin Ulaish, salah satu ulama terkemuka dalam mazhab Maliki, dan mantan mufti Maliki di Al-Azhar, Kairo, tegas mengatakan bahwa tidak boleh bagi seseorang mengonsumsi apa saja yang bisa menjadi penyebab tercegahnya kehamilan:
لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُ دَوَاءٍ لِمَنْعِ الْحَمْلِ، وَأَمَّا وَضْعُ شَيْءٍ كَخِرْقَةٍ فِي الْفَرْجِ حَالَ الْجِمَاعِ تَمْنَعُ وُصُولَ الْمَاءِ لِلرَّحِمِ فَأَلْحَقهُ عَبْدُ الْبَاقِي بِالْعَزْلِ فِي الْجَوَازِ. قَالَ الْجُزُولِيُّ فِي شَرْحِ قَوْلِ الرِّسَالَةِ: وَلَا يَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَشْرَبَ مِنْ الْأَدْوِيَةِ مَا يُقَلِّلُ نَسْلَهُ ا هـ
Artinya, “Tidak boleh menggunakan obat untuk mencegah kehamilan. Adapun meletakkan sesuatu, seperti kain di dalam kemaluan saat berhubungan intim yang mencegah sampainya air mani ke rahim, maka Abdul Baqi menyamakannya dengan 'azl dalam hal kebolehannya.
Al-Juzuli berkata dalam syarahnya atas pendapat dalam kitab Ar-Risalah: ‘Dan tidak boleh bagi manusia meminum obat-obatan yang dapat mengurangi keturunannya.” (Fathul Ali Al-Malik fil Fatawa ‘ala Mazhabil Imami Malik, [Beirut, Darul Ma’rifah: t.t], jilid III, halaman 28).
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Syekh Ahmad An-Nafrawi, salah satu ulama tersohor dalam mazhab Maliki, bahwa mengonsumsi mengonsumsi apa pun bagi laki-laki maupun perempuan yang bisa memutus keturunan secara total, hukumnya tidak diperbolehkan. Dalam salah satu kitabnya ia mengatakan:
أَمَّا لَوِ اسْتَعْمَلَتْ دَوَاءً لِقَطْعِهِ أَصْلًا فَلاَ يَجُوْزُ لَهَا حَيْثُ كَانَ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ قَطْعُ النَّسْلِ، كَمَا لَا يَجُوْزُ لِلرَّجُلِ اسْتِعْمَالُ مَا يَقْطَعُ نَسْلَهُ أَوْ يُقَلِّلَّه
Artinya, “Adapun jika seorang perempuan menggunakan obat untuk menghentikannya secara total, maka hal itu tidak boleh baginya, jika dapat menyebabkan terputusnya keturunan. Sebagaimana juga tidak boleh bagi laki-laki menggunakan sesuatu yang memutus atau mengurangi keturunannya.” (Al-Fawakihud Dawani ‘ala Risalati Ibni Zaid Al-Qairawani, [At-Tsaqafiyah Ad-Diniyah: t.t], jilid I, halaman 347).
Pendapat Syekh Muhammad bin Ahmad bin Ulaish dan Syekh Ahmad an-Nafrawi di atas menegaskan bahwa penggunaan obat untuk mencegah kehamilan hukumnya tidak boleh, apabila dapat menyebabkan terputusnya keturunan secara permanen. Namun, tindakan fisik seperti meletakkan kain di kemaluan saat berhubungan yang menghalangi masuknya mani ke rahim disamakan dengan 'azl dan hukumnya diperbolehkan.
Ketiga: Mazhab Hanbali
Syekh Musthafa As-Suyuthi Ar-Rahibani, salah satu ulama dalam mazhab Hanbali mengangkat persoalan seputar penggunaan obat yang berdampak pada keberlangsungan keturunan. Ia menekankan bahwa menjaga potensi keturunan adalah bagian dari tujuan syariat yang tidak boleh diabaikan, baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Karenanya, segala bentuk obat-obatan yang dapat menghilangkan kemampuan itu secara permanen hukumnya haram. Sebagaimana ditulis dalam kitabnya:
وَحَرُمَ شُرْبُ مَا يَقْطَعُ الْحَمْلَ، قَالَ فِي الْفَائِقِ ذَكَرَهُ بَعْضُهُمْ
Artinya, “Dan haram hukumnya meminum sesuatu yang dapat menggugurkan kandungan. Disebutkan dalam kitab al-Fa’iq, sebagian ulama menyebutkannya.” (Mathalibu Ulinnuha, [Damaskus, Maktab Al-Islami: t.t], jilid I, halaman 268).
Keempat: Mazhab Hanafi
Salah satu ulama dari kalangan Hanafiyah, Ibnul Abidin, mengatakan bahwa dalam persoalan boleh tidaknya seorang istri menutup rahimnya untuk mencegah kehamilan, terdapat dua pandangan yang berbeda.
Baca artikel ini selengkapnya melalui link berikut: https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-vasektomi-dalam-islam-pandangan-ulama-lintas-mazhab-tentang-kontrasepsi-permanen-untuk-pria-EwDIR
ADVERTISEMENT BY ANYMIND