Shalat Jumat merupakan satu keistimewaan yang diberikan Allah swt kepada umat Nabi Muhammad saw. Sebelum melaksanakan shalat Jumat diharuskan terlebih dahulu melakukan dua khutbah.
Kebanyakan manusia lebih condong terhadap hal-hal yang tidak baik, maka disyariatkannya dua khutbah ini dalam rangka mengingatkan akan hal-hal yang mengandung maslahat bagi dirinya baik yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Sehingga terbentuklah karakter masyarakat yang bertakwa.
Maka dari itu, orang yang hadir diharapkan dapat mendengarkan khutbah dengan seksama. Tidak menyibukkan dirinya dengan hal lainnya, termasuk melakukan shalat.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Berkenaan dengan ini, para ulama sepakat tidak memperbolehkan melakukan shalat setelah khatib duduk di atas mimbar sampai shalat Jumat selesai dilaksanakan. Ini berlaku bagi siapa saja yang menginginkan melaksanakan shalat Jumat secara mutlak sekalipun sebenarnya tidak diwajibkan melaksanakan shalat Jumat bagi orang-orang tertentu, seperti musafir dan perempuan.
Shalat yang dilakukan pun juga mutlak, baik shalat sunnah maupun shalat fardu. Selain tidak boleh, shalat yang dilakukan juga tidak sah sebagaimana melakukan shalat mutlak pada waktu-waktu yang diharamkan.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Imam Zainuddin Al Malibari dalam Fathul Muin menyebutkan:
وَتُكْرَهُ تَحْرِيْمًا وَلَوْ لِمَنْ لَمْ تَلْزَمْهُ الْجُمْعَةُ بَعْدَ جُلُوْسِ الْخَطِيْبِ عَلَى الْمِنْبَرِ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعِ الْخُطْبَةَ صَلَاةُ فَرْضٍ وَلَوْ فَائِتَةً تَذَكَّرَهَا الْآنَ وَإِنْ لَزِمَتْهُ فَوْرًا أَوْ نَفْلٍ وَلَوْ فِيْ حَالِ الدُّعَاءِ لِلسُّلْطَانِ وَاْلأَوْجَهُ أَنَّهَا لَا تَنْعَقِدُ كَالصَّلَاةِ بِالْوَقْتِ الْمَكْرُوْهِ بِلْ أَوْلَى
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Artinya, "Dimakruhkan (makruh tahrim) melakukan shalat fardu sekalipun shalat qadha’ dan wajib segera mengqadhanya atau melakukan shalat sunnah setelah khatib duduk di atas mimbar walaupun bagi orang yang tidak diwajibkan shalat Jumat, sekalipun dia tidak mendengarkan khutbah, walaupun dilakukan pada saat mendoakan kepada penguasa. Dan menurut pendapat yang unggul shalatnya tidak sah, sebagaimana melakukan shalat pada waktu yang dimakruhkan apalagi pada waktu demikian." (Fathul Muin, hal 208).
Ketidakbolehan ini dikarenakan dia mengabaikan sepenuhnya perkara yang diperintahkan, yaitu mendengarkan khutbah dengan seksama. Tentu hal ini berbeda dengan kasus berbicara saat khutbah (hukumnya makruh), sebab berbicara tidak termasuk pengabaian secara penuh terhadap khutbah.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Hukum haram ini hanya berlaku bagi mereka yang sudah tidak disunnahkan melakukan shalat Tahiyatul Masjid, yaitu orang yang sudah duduk di masjid secara sengaja.
Selanjutnya bagaimana jika seseorang dalam kondisi shalat sedangkan imam dalam kondisi duduk di atas mimbar?
Seseorang sedang dalam kondisi shalat dan khatib sudah duduk di atas mimbar, maka wajib baginya mempercepat shalatnya, artinya hanya melakukan rukun-rukun shalat saja.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Sebagaimana hal ini di singgung dalam Fathul Muin:
وَيَجِبُ عَلَى مَنْ بِصَلاَةٍ تَخْفِيْفُهَا بِأَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى أَقَلِّ مُجْزِئٍ عِنْدَ جُلُوْسِهِ عَلَى الْمِنْبَرِ
Artinya, "Bagi orang yang sedang dalam kondisi shalat dan khatib dalam kondisi duduk di atas mimbar, diwajibkan mempercepat shalatnya, dalam artian melakukan shalat seminimal mungkin." (Fathul Muin, hal 208).
Kesimpulannya adalah bagi orang yang sudah tidak disunnahkan melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid, tidak diperbolehkan melakukan shalat setelah khatib duduk di atas mimbar sampai shalat Jumat selesai dilaksanakan baik shalat wajib ataupun shalat sunnah. Dan wajib bagi seseorang yang dalam kondisi shalat padahal khatib sudah duduk di atas mimbar untuk menyelesaikan shalatnya dengan hanya melakukan rukun-rukunnya saja.
*Ditulis oleh Ahmad Faiz, Redaktur Keislaman NU Online Jombang, Pengajar di Pesantren Tarbiyatunnasyiin, Paculgowang, Jombang.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND