• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Jumat, 19 April 2024

Daerah

Garis Hidup Anak Punk Yang Bertobat

Garis Hidup Anak Punk Yang Bertobat
Abdul Hafid (memegang bendera Ansor), Anggota Banser Kabupaten Sampang yang berjalan kaki untuk menemui Habib Luthfi bin Yahya di Pondok Pesantren Darul Tama Pekalongan (Foto: NU Jombang Online (Husnul Irfan Fauzi)
Abdul Hafid (memegang bendera Ansor), Anggota Banser Kabupaten Sampang yang berjalan kaki untuk menemui Habib Luthfi bin Yahya di Pondok Pesantren Darul Tama Pekalongan (Foto: NU Jombang Online (Husnul Irfan Fauzi)

Abdul Hafid, lelaki kelahiran Sampang 20 tahun silam nekat menyisir jalanan sepanjang ratusan kilometer demi menemui sang panutan, Rais Aam Jamiyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya. Tak cuma itu, ia bahkan rela memutar rute perjalanannya melewati Jombang tempat para Muassis Nahdlatul Ulama (NU). Ia berkeliling ke makam para pendiri NU. Mulai dari makam KH. Hasyim Asyari, KH Asyari hingga yang terakhir makam KH. ABD. Wahab Chasbullah.

Dia percaya bahwa doa dan berkah para muassis itu tidak semua bisa mendapatkannya. Itu jauh lebih berharga di dalam hidupnya. Siapa sangka jika pemuda yang kini ingin mengabdikan dirinya untuk NU ini ternyata dulunya adalah seorang anak urakan, terlibat perdagangan obat-obatan terlarang, peminum hingga main perempuan. Hafid menyebut dirinya anak punk ketika itu.

Anak pertama dari 4 bersaudara ini sejak kecil tinggal dengan keluarga yang agamis. Lulus dari sekolah dasar, dia bahkan sempat nyantri di pondok pesantren Darul Roshad. Tapi hanya 10 bulan. Dia tidak kerasan. Entah kenapa dia malah memilih ikut sang paman untuk bekerja di Malaysia sebagai kuli.

Usia masih belia, keahlian minim, ijazah juga cuma sampai SD, Hafid merasa tidak puas dengan kondisinya saat itu. “Saya capek kerja jadi kuli. Akhirnya saya kabur dari paman saya dan ikut teman saya kerja di kafe. Dari situlah saya bertemu komunitas anak punk di Malaysia. Bukannya kerja yang bener saya malah ikut jadi pengedar kelas teri. Tiap malam mabuk, main cewek. Wah bodoh saya waktu itu. Nggak pernah sholat apalagi ngaji,” Hafid bercerita sambil tertawa mengingat masa lalu yang dianggapnya kelam itu.

Baginya, bisa keluar dari sana adalah berkah. Mungkin Allah memang menyayanginya. Di tengah kekacauan yang terjadi di hidupnya dia ingin sekali pulang. Tapi dia tidak punya sepeser pun uang untuk biaya pulang.

“Saya sampai mbasang di pinggir jalan tempat razia penduduk asing. Visa saya masa berlakunya habis. Biasanya di hari-hari tertentu ada razia di lokasi tempat saya biasa mangkal sama teman-teman. Mereka yang visanya ketahuan habis, akan dipulangkan. Tapi berhari-hari saya disana, saya nggak ditangkap. Nggak ada yang mengusik sama sekali sampai saya jenuh sendiri,” katanya sembari terkekeh kembali. Sesekali Hafid membetulkan posisi duduknya, menunduk, lalu tersenyum kembali.

Karena putus asa dengan cara itu, Hafid memilih untuk kembali pada pamannya yang mengajaknya bekerja menjadi kuli bangunan. Tapi karena tidak suka dengan pekerjaan itu, diberikanlah pekerjaan lain di pekerbunan. Dari situlah Hafid mendapatkan uang untuk pulang.

Dia memutuskan untuk melipir ke Kalimantan dan singgah sebentar di rumah keluarganya. Lalu melanjutkan perjalanan ke Bandung. Di Bandung, Hafid bertemu dengan ibunya dan tentu saja bertemu dengan dunianya kembali, dunia anak-anak punk.

“Kalau pagi saya kerja di toko baju. Malamnya saya mabuk sama teman-teman. Main cewek, ya begitu lah. Saya juga nyari uang dengan ngamen,” ceritanya sembari menerawang.

Sampai suatu ketika, dia menikah dengan seorang gadis di usianya yang masih belia. Tapi hanya beberapa bulan dan keduanya memutuskan untuk bercerai. “Saya bingung saja waktu itu. Menikah itu kan banyak tanggung jawabnya. Habis menikah, saya balik ke Bandung, senang-senang sama teman-teman saya lagi. Mungkin ya karena itu juga akhirnya saya bercerai,” ungkapnya.

Perceraian itu sempat membuatnya kembali ke Sampang. Tapi hanya sebentar, kemudian Hafid kembali lagi ke Bandung. Rutinitasnya tidak ada yang berbeda. Malah kali ini dia tidak lagi bekerja melainkan bersenang-senang hampir tiap malam. Dalam keadaan mabuk, tentu tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi berikutnya.

“Saya baku hantam sama orang. Terlibat perkelahian. Mereka dari geng lain. Ya padahal di Bandung saya berteman sama siapa saja, nggak masuk kelompok tertentu. Tapi ya itu nggak ngerti gimana akhirnya masalah itu jadi besar. Saya dikejar orang. Mau dibunuh sepertinya,” Hafid kembali menghela nafas panjang kemudian mencoba mengingat kembali kejadian yang akhirnya justru memberikan hikmah luar biasa.

Ibunya tidak mau Hafid terlibat perkelahian besar apalagi sampai dibunuh. Hafid diminta pulang ke rumahnya di Sampang agar selamat. Hafid menurut. Dia pulang ke Sampang tanpa banyak membantah.

Tidak banyak yang bisa dilakukannya di Sampang. Sampai dia bertemu dengan sepupunya yang sudah menjadi anggota Banser. Menurutnya sepupunya itu terlihat keren mengenakan seragam Banser yang seperti anggota militer. Bersepatu laskar, mengenakan pakaian doreng-doreng membuat sepupunya itu tampak gagah. Diam-diam dia mengagumi.

Hafid tergoda ingin ikut, tapi urung. Dia berusaha mencari tahu. Apa sih Banser itu. Dia mencari tahu di media sosial, di internet dan dimana-mana tentang Banser. Tapi yang dia temukan justru banyak hal negatif.

“Saya lihat di media sosial itu banyak yang meremehkan Banser. Ada yang bilang masuk Banser itu tercela dan macam-macam hal negatif lainnya,” katanya. Tapi karena diterkam rasa penasaran, dia memilih untuk tetap terlibat di Banser dengan motif iseng dan ingin tahu lebih banyak.

Setelah ikut Pendidikan dan Latihan Dasar Barisan Ansor Serbaguna (Diklatsar Banser), pikiran Hafid jadi lebih terbuka. “Di dalam diklatsar saya diberikan banyak materi. Salah satunya adalah tentang keaswajaan. Materi itu membuat saya menjadi tersentuh. Yang tadinya cuma iseng ikut Banser jadi lebih serius ingin menggali lagi. Dari yang tadinya nggak mau sholat, jadi mau sholat lagi,” ungkap Hafid dengan senyum terkembang.

Kali ini dia tidak ingin lagi jatuh ke lubang yang sama. Meninggalkan semua kebiasaan buruk itu sulit tapi dia berusaha dengan keras. Membulatkan niat dan tekad. “Saya ikuti alurnya. Semua yang dijalani dengan ikhlas pasti akan mendapatkan jalan. Alhamdulillah saya ikhlas dan saya sudah tidak ingin kembali ke jalan rusak seperti kemarin-kemarin,” yakinnya.

Tak terhitung banyaknya teman yang ingin mengajaknya kembali jalan yang dulu dimana dia lebih suka mabuk dibandingkan dengan bekerja baik-baik. Tapi, Hafid tak bergeming. Dia bahkan mengajak sahabatnya untuk ikut Banser. Segala bujuk rayu dia sampaikan, keinginannya cuma satu. Apalagi kalau bukan mengajak sahabatnya untuk bertobat? Sayangnya hidayah itu belum menghampiri.

Hafid yang saat ini akan mengikuti kejar Paket C demi mendapatkan ijazah SMA ini mengaku ingin selalu berada di jalan yang lurus. Niatnya bertemu dengan Habib Luthfi adalah salah satu hal yang menjadi mimpinya saat ini.

“Saya pengen ketemu beliau terus mau nyantri disana kalau bisa. Seminggu, dua minggu, sebulan. Tapi nggak tau bisa diterima atau nggak. Kalau nanti diijinkan Alhamdulillah kalau nggak ya pulang lagi. Malah kalau saya diterima disana, nggak digaji pun saya rela ikut sama Habib kemana-mana,” pungkasnya dengan mata berbinar-binar.

Saat ini cita-cita Hafid sederhana. Berharap sekali bisa bertemu Habib Luthfi bin Yahya dan berkhidmat di NU. Mengharap Barokah dari para Muassis dan ulama. Ngalap berkah. Mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk kehidupannya dunia dan akhirat. (Selesai-Nur Fitriana)


Editor:

Daerah Terbaru