• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Sabtu, 20 April 2024

Fiqih

Problematika dan Alternatif Hukum Shalat Jumat di Perkantoran

Problematika dan Alternatif Hukum Shalat Jumat di Perkantoran
Problematika dan Alternatif Hukum Shalat Jumat di Perkantoran. (Foto: tirto)
Problematika dan Alternatif Hukum Shalat Jumat di Perkantoran. (Foto: tirto)

Di antara kewajiban dasar seorang Mukmin mukallaf adalah menjalankan shalat Jumat, sehingga bagi mereka yang tidak menjalankannya tanpa udzur oleh nabi digolongkan bagian dari orang munafiq dan hatinya tersegel (tertutup).


من ترك ثلاث جمعات من غير عذر كتب من المنافقين
من ترك ثلاث جمع تهاونا طبع الله على قلبه


Syarat sah mendirikan shalat Jumat


Dalam Fathul Qorib dinyatakan: syarat sah mendirikan shalat Jumat adalah:


1. Dilaksanakan di tempat pemukiman penduduk
2. Peserta shalat Jumat minimal 40 orang penduduk tetap (mustauthin)
3. Waktu dzuhur masih cukup untuk prosesi shalat Jumat (dua khutbah dan dua rakaat shalat Jumat)


Albajuri halaman 215 lebih lanjut menyatakan, dalam hal kepesertaan shalat Jumat terdapat kurang lebih lima belas pendapat yang berbeda (lihat Albajuri halaman 215 cetakan Alharomain).


Hukum Jumatan di Perkantoran atau perusahaan


Hukum mendirikan shalat Jumat di perkantoran/perusahaan terdapat rincian sebagai berikut:


1. Sah, bila tiga persyaratan di atas terpenuhi dan tidak ada taaddudul Jumat (penyelenggaraan shalat Jumat lebih dari satu dalam satu tempat), kecuali memang tidak memungkinkan melakukan shalat Jumat di satu tempat dalam waktu yang bersamaan.


2. Tidak sah, bila tidak memenuhi persyaratan di atas dan terjadi taaddudul Jumat di atas, hal ini oleh sebagian ulama masih dipegang kuat, misalnya KH Sahal Mahfudh dalam bukunya wajah baru fiqih pesantren halaman 105 beliau berprinsip bahwa pemenuhan persyaratan sebagaimana yang disebutkan jangan disepelekan.


Demikian pula ulama Sedan Rembang yang representatif juga melakukan pilihan hukum yang sama atas dasar pendapat yang kuat dan berkembang di kalangan Syafiiyah.


Nah, sekarang di banyak tempat telah terjadi penyelenggaraan shalat Jumat di perkantoran/perusahaan yang sangat mungkin tidak memenuhi persyaratan, misalnya:

1. Jumlah peserta tidak mencapai 40 orang dari kalangan penduduk tetap (mustauthin).

2. Peserta hanya dari pegawai/karyawan yang hanya berstatus muqim (menempat sementara) atau musafir. 


3. Penyelenggaraan shalat Jumat di tempat itu bukan satu-satunya.


Bagaimana sekarang tawaran hukum yang berkembang dalam fiqih? Mengingat penyelenggaraan shalat Jumat dalam ketiga kasus di atas sulit untuk dihindari.


Lagian karena mungkin dihantui oleh ketidakabsahan akibat tidak memenuhi persyaratan di atas, banyak alumni pesantren Aswaja An-Nahdliyah yang enggan mengisi ruang dan mimbar yang sebetulnya perlu mendapat sentuhan para awak pesantren tersebut, sehingga ruang dan mimbar itu menjadi milik orang lain yang pada kesudahannya mereka leluasa menyebarkan paham mereka di ruang dan mimbar itu.


Apakah kita akan membiarkan hal itu seterusnya, tanpa memberikan alternatif hukum lain? 


Nah, di sinilah kiranya penting memberikan jawaban atas ketiga kasus di atas sebagai alternatif hukum, meski bukan satu-satunya hukum.


Jawaban alternatif hukum atas kasus pertama:


Sayyid Bakri pengarang I'anah menyatakan bahwa Assyafi'i dalam qoul qodim ada dua pendapat:


1. Minimal peserta Jumat empat orang penduduk tetap


2. Minimal dua belas orang penduduk tetap


فلا ينافي ان له قولين قديمين في العدد أيضا أحدهما اقلهم أربعة .......ثاني القولين اثنا عشر


Apakah boleh menggunakan pendapat qoul qodim dalam hal ini (pendapat imam Assyafi'i saat beliau di Bagdad)?


Ya tentu boleh asal qoul qodim itu didukung oleh Ashab (santri santri Assyafi'i)


وهل بجوز تقليد هذين القولين الجواب نعم فانه قول للامام نصره بعض اصحابه ورجحه


Jawaban alternatif hukum atas kasus kedua:


Alyaqut Annafis menyatakan: shalat Jumat dengan peserta jamaah yang berstatus muqim qhoiru mustauthin (mukim sementara) ada dua wajah: 

1. Sah
2. Tidak sah


Nah, berarti alternatif hukum sah terbuka


وجاء في المهذب هل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين فيه وجهان قال علي بن ابي هريرة تنعقد بهم لأنه تلزمهم الجمعة فانعقدت بهم كالمستوطنين وقال ابو اسحق لا تنعقد


Syekh Zainudin Almalibari memberi alternatif hukum mengenai peserta Jumat yang berstatus musafir bahwa dalam madzhab Abu Hanifah peserta Jumat yang hanya berstatus musafir itu sah.


فتنعقد عنده بأربعة ولو عبيدا او مسافرين.


Jawaban alternatif hukum atas kasus ketiga


Syekh Ismail bin Zain dalam Qurrotul Ain menyatakan boleh penyelenggaraan shalat Jumat lebih dari satu dalam satu tempat dalam waktu yang sama, yang penting pesertanya minimal empat puluh orang penduduk tetap.


اما مسالة تعدد الجمعة فالظاهر جواز ذلك مطلقا.بشرط ان لا ينقص عدد كل عن اربعين رجلا


Jadi, dalam kasus penyelenggaraan shalat Jumat di perkantoran/perusahaan dengan kemungkinan terjadinya tiga kasus di atas itu terbuka hukum diperbolehkannya sebagai alternatif pilihan hukum, meski sangat mungkin terbuka terjadinya talfiq (mencampur madzhab) yang menurut pendapat kuat di kalangan Syafi'i tidak dibenarkan sebagaimana penjelasan Syekh Zainuddin Almalibari, tapi pendapat lain sebagaimana yang dikatakan Fathul A'llam adalah boleh. 


والذي اذهب اليه واختاره القول بجواز التقليد في التلفيق لا بقصد تتبع ذلك لان من تتبع الرخص فسق.


Sekali lagi ini hanyalah alternatif pilihan hukum.


Wabillahittaufiq


Alfaqir M Sholeh, Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jombang


Fiqih Terbaru