Kiai adalah ulama pewaris nabi. Bukan mewarisi harta ataupun kuasa. Kiai memikul beban untuk meneruskan perjuangan nabi, sahabat, dan salafus sholih.Â
Kiai memiliki beban ganda, yaitu dakwah dan tarbiyah. Mendidik santri sekaligus memikirkan kemaslahatan umat. Dalam kaitannya dengan tugas ini, para kiai dihadapkan pada keharusan stabilitas sekaligus mobilitas.
Stabilitas artinya mapan menetap. Memiliki rumah dan pekarangan. Yang bisa menjadi tempat bagi kiai, keluarganya maupun santrinya.
Di sisi lain, kiai tertuntut memiliki mobilitas tinggi. Hadir mendidik dan mendatangi pengajian masyarakat di berbagai daerah. Baik yang jaraknya dekat maupun jauh. Lewat undangan pernikahan, pengajian, ceramah, silaturrahim mempererat jejaring ulama, menghampiri alumni, ataupun berjuang di bidang politik kebangsaan.Â
Baca Juga
Tiga Kiai Jombang Pendiri NU
Semua agenda tersebut membuat kiai menjadi niscaya membutuhkan alat transportasi yang prima. Terkadang modal transportasi umum tidak mampu menjangkau seluruh aktivitas dakwah kiai.Â
Maka tidak aneh, bila beberapa kiai sejak zaman penjajahan telah memiliki mobil. Bukan untuk kemewahan. Hanya sebagai wasilah lantaran pendukung perjuangan.
Di tahun 1940-an, tercatat Kiai Wahid Hasyim telah bermobil. Kiai Saifuddin Zuhri menanyakan alasan ayahanda Gus Dur itu telah bermobil. Di zaman di mana semua orang serba susah. Kiai Wahid menjawab bahwa memang tuntutan perjuangan membutuhkan mobil. Dibeli dengan uang halal tentunya.
Kiai Abdullah Ubaid, wafat kecelakaan sepulang menghadiri Muktamar NU di Menes Pandegelang Banten tahun 1938. Beliau mengendarai motor pribadinya. Harley davidson. Jarak Surabaya-Menes terhitung 922,2 km. Bisa dibayangkan betapa lelahnya kala itu. Beliau telah memiliki moge mewah demi menunjang dakwah beliau sebagai penceramah kondang.
Mbah Kiai Wahab Chasbullah, juga memiliki motor di saat orang kebanyakan memiliki sepeda ontel pun belum. Kiai Wahab dengan penampilan khasnya bersurban, tercatat menyupiri mobilnya sendiri Hadratussyekh Hasyim Asy'ari, kala menghadiri acara NU di Sokaraja Banyumas.Â
Mbah Wahab memang terkenal dengan mobilitasnya yang tinggi, sejak kepulangannya dari belajar di Makkah tahun 1914. Tinggal di Surabaya, sambil mengurusi Pesantren Tambakberas tinggalan ayahandanya. Mbah Wahab berpadu dengan tokoh pergerakan nasional kala itu. Dokter Sutomo dan HOS. Cokroaminoto adalah tetangganya di Peneleh Surabaya. Kiai Mas Mansyur adalah koleganya mengelola Masrasah Nahdlatul Wathon dan kelompok diskusi Taswirul Afkar.
Sejak NU berdiri tahun 1926, Mbah Wahab sebagai Katib Syuriyah, bersama para Kiai lainnya mendirikan Jam'iyatun Nasihin. Kumpulan kiai yang bertugas mendatangi berbagai daerah mendorong berdirinya cabang-cabang NU. Di saat infrastruktur jalan dan kendaraan masih sulit.
Ibu penulis yang saat usia 7 tahun nderek di ndalem Mbah Wahab, bercerita bahwa mobil Mbah Wahab saat itu, tahun 1960-an, adalah Chevrolet Impala. Sedan keren dan mewah kala itu. Berukuran besar, panjang dan ceper.
Bagasi belakangnya yang amat besar, cukup untuk membawa oleh-oleh pakaian dan makanan dari Jakarta. Tiap kali Mbah Wahab pulang ke Tambakberas. Mbah Wahab memang terkenal sangat perhatian pada keponakan dan cucu dari adik-adiknya. Hingga anak kandungan pun sering terlupakan terkait oleh-oleh ini. Tidak kebagian. Sebagaimana penuturan Nyai Mundjidah, putri Mbah Wahab.
Mbah Wahab kerap mendahulukan selain anaknya dalam perhatian ini (itsar). Adik-adik Mbah Wahab wafat lebih dulu Berturut-turut tahun 1940-an dan 1950-an. Ibu penulis menceritakan betapa enaknya rasa rambutan Binjai pemberian Mbah Wahab. Di Jombang tidak ada. Makanan enak adalah perkara mewah di zaman itu.
Kepemilikan mobil, menjadi penunjang Mbah Wahab pulang pergi Jombang-Jakarta. Seusai merdeka, pusat kegiatan memang di Jakarta sebagai ibukota. Di samping mengasuh pesantren, kala itu Mbah Wahab adalah Rais Aam NU, anggota Konstituante dan agggota DPA. Lembaga tinggi negara yang berfungsi sebagai penasihat presiden kala itu. Seperti Wantimpres sekarang.
Warga Desa Tambakberas sudah paham bila terdengar deru mesin mobil, berarti Mbah Wahab rawuh. Karena tidak ada orang lain di daerah itu yang memiliki mobil.
Kiai Bisri Musthofa Rembang, pernah secara khusus minta didoakan oleh Kiai Hamid Pasuruan, agar Allah rezekikan memiliki mobil. Kiai Bisri memang penceramah andal sekaligus penulis kitab Tafsir Al-Ibriz yang fenomenal.
*********
Baca Juga
Eksistensi Kiai Kampung
Di masa sekarang, mobil telah menjadi kebutuhan bagi dakwah kiai. Habib Luthfi Bin Yahya pernah menyatakan, kiai minimal mobilnya Innova. Dari Dawuh ini, dapat dipahami bahwa kiai membutuhkan mobil yang prima, berperforma mesin yang mumpuni, awet dan nyaman. Juga agar kiai tidak dianggap remeh orang. Bukan sekadar untuk gaya-gayaan.Â
Di pertengahan tahun 1970-an, Gus Miek pernah meminta agar Kiai Maftuh Basthul Birri membeli mobil. Demi wibawa kiai Ahlul Qur'an dari Lirboyo ini saat datang sema'an Qur'an. Gus Miek sendiri terakhir bermobil Honda Genio Civic, sebelum kewafatannya tahun 1993.
Kiai yang memiliki mobil mewah Boxy seperti Alphard, tidak pantas diartikan bergaya hidup mewah dan hubbuddunya. Perjalanan jauh membutuhkan mobil yang aman/safety, mesin yang terawat dan kenyamanan. Jangan sampai kiai telat atau gagal mendatangi masyarakat yang telah menanti, hanya karena mogok di jalan. Jangan sampai kiai kelelahan saat tiba di lokasi acara, karena mobil yang tidak nyaman. Kiai sagat butuh menjaga kesehatan dan kebugaran. Kendaraan yang tidak nyaman, membuat kiai tidak mampu beristirahat selama perjalanan.
Mbah Maimoen, tercatat pernah memiliki Honda CRV hingga Mazda Biante. Mendatangi pengajian malam hari di Jawa Timur, dan subuh tetap mengimami shalat dan ngaji di Pesantrennya di Sarang Rembang. Tentunya keistiqamahan mengaji, tanpa meninggalkannya dengan alasan acara, membutuhkan mobil yang layak. Laku yang sama, tidak pernah meninggalkan mengajar ngaji di pesantren, juga dilakukan oleh Kiai Abdurrahman Chudlori Magelang. Juga sederet Kiai lainnya.
Kiai memandang mobil adalah lantaran, bukan tujuan. Mobil tidak dimasukkan sebagai kesenangan dalam hati. Itulah wujud kezuhudan.
Perjuangan memerlukan penggunaan barang penunjang yang berkualitas. Nabi Muhammad tunggangannya juga hewan terbaik kala itu. Pedangnya pun kualitas terbaik.
Dunia di genggaman tangan, bukan di lubuk hati yang terdalam. Begitu doa nabi, yang tampak nyata pada diri kiai.
Â
*Akhmad Taqiyuddin Mawardi, Pengasuh Pesantren An-Nashriyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, Redaktur Pelaksana Keislaman NU Online Jombang.
Terpopuler
1
Keutamaan Sedekah di Bulan Rajab
2
Habib Jamal Jelaskan Makna Asyhurul Hurum dan Keutamaan Bulan Rajab
3
Khilafiah Ulama tentang Hukum Pemindahan Pemakaman Jenazah ke Daerah Lain
4
Rapimcab IPNU-IPPNU Jombang, Upaya Perkuat Kolaborasi Tingkat PAC dan PKPT
5
Makna Filosofi di Balik Nama Bulan Rajab
6
Ketua PCNU Jombang Ajak Muslim Manfaatkan Rajab dengan Beragam Amalan, Mulai Istighfar hingga Sedekah
Terkini
Lihat Semua