• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Jumat, 19 April 2024

Opini

Ulama dan Politik: Perlawanan KH. Hasyim Asy’ari terhadap Penjajah (Bagian I)

Ulama dan Politik: Perlawanan KH. Hasyim Asy’ari terhadap Penjajah (Bagian I)
Foto KH M Hasyim Asy'ari, pendiri NU. (Foto: Istimewa)
Foto KH M Hasyim Asy'ari, pendiri NU. (Foto: Istimewa)

Indonesia pada masa penjajah sangat diwarnai oleh berbagai macam perlawanan rakyat terhadap penjajah. Meskipun beberapa perlawanan mengambil bentuk gerakan agama atau politik, hampir semua perlawanan muncul sebagai respon terhadap situasi sosial yang tidak adil. Letupan perlawanan menampilkan karakteristik yang berbeda dalam pola, ada yang tradisional dan ada yang modern.

Ketika eksploitasi penjajah semakin merajalela terhadap bangsa Indonesia, maka Sebagian masyarakat menggantungkan nasibnya kepada ulama, agar memimpin perlawanan terhadap penindasan penjajah. Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan ulama atau kiai relatif mampu membangkitkan lingkungannya untuk menumbangkan kekuasaan penjajah.

Diantara ulama yang melakukan perlawanan adalah KH. Hasyim Asy'ari. Ia muncul sebagai sosok ulama yang sangat berpengaruh dalam konteks sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Sebagai pemimpin pesantren dan NU, dapat dengan mudah mendapatkan dukungan massa dan legitimasi keagamaan. Hal itu terlihat dalam fatwat jihadnya yang mampu manarik emosi primordial masyarakat, sehingga mereka berani berkorban demi mempertahanakan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 1945. Sebelumnya, KH. Hasyim Asy'ari juga telah melakukan perlawanan kultural yang membuat ia sering dituduh oleh penjajah sebagai pembangkang terhadap kebijakan mereka.

Pola perlawanan KH. Hasyim Asy'ari tergolong tradisional, karena lebih banyak menggunakan sentimen keagamaan dari pada pertimbangan rasional. Fatwa jihadnya lebih didasarkan pada landasan fiqih yang memandang penjajah sebagai kafir, dari pada konteks-konteks petimbangan rasional, seperti konstruksi prinsip ekonomi yang menjadi ciri gerakan sosial modern.

Perlawanan KH. Hasyim Asy'ari adalah fenomena gerakan sosial, karena itu pembahasan dalam makalah ini menggunakan pendekatan ilmu sosial dengan menggunakan data skunder dari karya tulis yang berupa buku atau artikel yang membahas tentang KH. Hasyim Asy'ari.

Kedudukan Ulama di Masa Penjajah
Peran ulama dalam konteks sejarah perjuangan Indonesia tidak diragukan lagi, apa lagi saat bersikap sebagai oposan terhadap kemapanan penjajah. Ulama sangat membenci terhadap intervensi terus menerus kekuasaan asing seperti yang dilakukan pemerintah penjajah Belanda terhadap domain domistik. Ketika penindasan kolonialisme memuncak terhadap bangsa-secara material ataupun imaterial-maka ketika itu masyarakat dan atau bangsa menggantungakn harapannya kepada ulama, agar memberikan komando untuk menghadapi kesewenang-wenangan mereka.

Perlawanan konfrontatif terhadap penjajah muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dimana ulama memainkan peran yang strategis. Corak perlawanan ulama itu antara lain berwujud gerakan juru selamat (mesianisme), kenabian (profetisme), ratu adil (milenarianisme), gerakan pribumi (nativisme), penghidupan kembali (revitalisasi) atau menghidupkan kembali (revivalisme). Dalam perlawanannya, ulama menyebarkan ide perang suci sebagai ideology geakan. Ide perang suci ternyata sangat ampuh untuk menyentuh semangat masyarakat yang tulus dalam berjuang melawan penjajah.

Dengan demikian, ulama telah memperlihatkan sikap pro aktif dalam menghadapi problem sosial politik masyarakat. Fungsi ulama tidak saja memimpin tugas-tugas keagamaan yang berdimensi vertikal, tetapi juga yang berdimensi horizontal yang salah satu aspeknya adalah persoalan politik. Mereka bersikap independen, kritis, oposan terhadap penguasa yang zalim

Biografi Kiai Hasyim Asy'ari
Hasyim Asy'ari lahir pada 14 Februari 1871 di Jombang. Ayahnya bernama Asy'ari, pendiri pesantren Keras. Ayahnya adalah keturunan kedelapan dari penguasa kerajaan Islam Demak, Jaka Tingkir, yang menjadi Sultan Pajang pada tahun 1568 dan merupakan putera Brawijaya VI, penguasa kerajaan Majapahit pada seperempat pertama abad XVI di Jawa. Hasyim mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Pada usia 13 tahun, ia masuk pondok Pesantren di Probolinggo. Dua tahun kemudian, ia belajar di pesantren Bangkalan. Ia lalu pindah ke pesantren di Sidoarjo. Ia kemudian belajar ke Makkah pada pada 1892 untuk yang pertama dan pada 1893 untuk yang kedua kalinya. Di Makkah Hasyim Asy'ari berguru pada beberapa Syaikh Indonesia yang sudah menetap di Makkah, seperti Syaikh Mahfudz (w.1920), Syaikh Ahmad Khatib (w. 1334 H). Dari Syaikh Ahmad Khatib inilah, ia mempelajari Tafsir al-Manar karya Abduh dan mengakui rasionalitas Abduh dalam memahami Islam.

Dengan latar belakng pendidikan tersebut, Hasyim Asy'ari tumbuh menjadi ulama besar dan telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, seperti Al- Tibyan fi al-nahy 'an muqata 'at al-arham wa al-aqarib wa al-ikhwan, Adab al-alim wa Muta'allim, Al-Tanbihat al-wajibatli man yasna' al-maulid bi al-munkarat, Al-Risalah al-jami'ah. Sedangkan karya besarnya yang menjadi landasan beroraganisasi NU adalah "qanun asasi" yang berisi 1) latar belakang berdirinya Jamiah NU, 2) hakekat dan jati diri Jamiah NU, 3) potensi umat yang diharapkan akan menjadi pendukung NU, 4) perlunya ulama bersatu (ijtima'), saling mengenal (ta'aruf), rukun bersatu (itthad), dan 5) keharusan warga NU bertaklid pada salah satu pendapat imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.

Sebelum terlibat dalam masalah politik, KH. Hasyim Asy'ari lebih menfokuskan pada dunia pendidikan dengan mendirikan pesantren di Tebuireng pada tahun 1899. Pesantrennya berdampingan dengan pabrik Gula yang didirikan Belanda pada tahun 1853. Sebagian waktunya dihabiskan untuk mengajar di Tebuireng dengan mengajar Ilmu Hadits. Karena itu pesantrennya dikenal luas dan diminati oleh mereka yang ingin belajar hadits secara mendalam. Di antara orang yang belajar hadits kepada KH. Hasyim Asy'ari adalah Kiai Khalil Bangkalan yang dulu permah menjadi gurunya. Bila cenita tentang bergurunya Kiai Khalil kepada KH. Hasyim Asy' ari ini benar, maka ini berarti memunjukkan keunggulan KH. Hasyim Asy'ari di bidang Ilmu Hadits. Cara berguru seperti ini dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah riwayah al-akabir 'an al-ashaghir.

Setelah memperhatikan perkembangan gerakan keagamaan yang tidak menguntungkan komunitas pesantren, KH. Hasyim Asy'ari menganggap perlu adanya organisasi keagamaan yang bisa dijadikan wadah perjuangan komunitas pesantren. Oleh karena itu, pada 1926 bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah dan sejumlah ulama lainnya, KH. Hasyim Asy'ari memperkasai lahimya organisasi tradisional Jamiah Nahdatul Ulama (NU) ". Ketokohan KH. Hasyim Asy'ari di NU bukan saja sangat sentral, tetapi juga menjadi tipe ulama pemimpin. la lalu diangkat sebagai Rais Akbar, sebuah jabatan tertinggi di NU, yang hanya diduduki oleh KH. Hasyim sendiri. Tokoh-tokoh NU berikutnya hanya pantas menduduki jabatan Rais Am, sebuah jabatan di bawah Rais Akbar. Ketokohan KH. Hasyim Asy'ari juga diakui oleh Masyumi, sebuah organisasi politik yang didominasi pemikir-pemikir Muslim modernis. Hal ini terbukti dengan diangkatnya KH. Hasyim Asy'ari sebagai ketua Badan Konsultatif periode 1945- 1949. Puncak pengakuan atas ketokohan KH. Hasyim Asy'ari diperoleh dari pemerintah Indonesia yang berdasarkan keputusan presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang Pahlawan Nasional: Suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.

Hubungan Sosial Kiai Hasyim Asy'ari
Untuk memudahkan memahami hubungan sosial antara KH. HasyimAsy'a ri dan masyarakat, perlu kiranya dikemukakan gambaran umum tentang hubungan sosial dan hubungan antarpribadi di kalangan masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dikenal secara luas mengakui adanya perbedaan-perbedaan antara prbadi-pribadi dalam status sosial mereka dan ini telah menjadi norma yang mengatur hubungan sosial di kalangan orang Jawa. Ada anggapan bahwa semua hubungan di dalam masyarakat itu tersusun atas dasar aturan-aturan yang bersifat hierarkis. Setiap orang diharapkan mengenal di mana tempatnya dan sekaligus juga tahu apa tugasnya di dalam sistem sosial yang hierarkis itu.

Hubungan hierarki tersebut kemudian membentuk strata sosial. Ada strata kelas bawah, kelas menengah dan, kelas elit. Strata yang lebih rendah akan memberikan penghormatan kepada strata yang lebih tinggi. Orang bisa naik ke strata yang lebih tinggi bila ia mempunyai sesuatu yang dihormati oleh masyarakat Jawa dalam jumlah yang lebih banyak. Sesuatu yang dihormati itu adalah usia, kekayaan dan ilmu pengetahuan. Karena itu orang miskin akan menempatkan orang kaya sebagai orang yang harus dihormati, orang muda akan menghormati orang tua, dan demikian juga orang yang kurang berilmu akan menghormati orang yang berilmu.

Budaya perbedaan sosial tersebut diintermalisasikan sejak dini dan muncul menjadi nom-norma yang dipelihara dengan memanfaatkan kerjanya control sosial. Di dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat Jawa mengenal konsep wis Jawa yang mengandung arti orang telah menjalani perilaku ideal sebagaimana yang dikehendaki masyarakat Jawa. Demikian juga budaya malu telah mendorong seorang penduduk untuk selalu mentaatai sopan santun yang sudah terlembaga. Misalnya seorang yang kaya tidak hanya harus menerima penghormatan dari orang yang miskin, tetapi orang yang kaya juga harus berperilaku yang menggambarkan status sosialnya dengan cara menyantuni orang-orang yang lemah.

Di kalangan masyarakat Jawa, orang-orang yang menduduki strata social yang tinggi beragam, misalnya kiai, birokrat dan, petani kaya. Tetapi posisi kiai selalu lebih terhormat dibandingkan lainnya. Karena itulah, kiai kemudian diposisikan sebagai pemimpin dalam masyarakat baik dalam wilayah agama maupun lainnya. Keberhasilan kiai dalam menjalankan fungsi kepemipinan, membuat kiai dengan mudah dapat menggerakkan aksi sosial.

Kuatnya kedudukan KH. Hasyim Asy'ari di tengah-tengah masyarakat Jawa, sesuai dengan konsep strata sosial yang menjelaskan bahwa orang yang memiliki sesuatu yang dihormati dalam jumlah yang banyak, ia akan berada pada strata sosial yang tinggi dan semakin kuat. Dalam hal ini, KH. Hasyim Asy'ari memiliki dua hal yang sangat dihormati masyarakat. Pertama, KH. Hasyim Asy'ari memiliki ilmu pengetahuan agama lebilh tinggi dari pada masyarakat di sekitarmya. Kepandaian KH. Hasyim Asy' ari dalam memberikan jawaban problem-problem keagamaan membuat ia mempunyai pengikut yang banyak, baik masyarakat umum maupun santri yang tinggal di sekitar pondoknya. Kedua, KH. Hasyim Asy'ari berasal dari keluarga yang kaya. Dengan kekayaan ini, ia dapat membantu masyarakat dalam menyelesaikan atau setidak-tidaknya meringankan beban ekonomi masyarakat. Dengan kekayaannya, ia juga dapat menciptakan hubungan patronase dan jaringan kerja dengan kelompok tertentu dalam masyarakat. Dengan kedudukan ini, KH. Hasyim Asy'ari mampu menggerakkan aksi-aksi sosial, baik pada masyarakat akar rumput maupun masyarakat tingkat atas.

Dalam perpektif agama, perjalanan studi KH. Hasyim Asy'ari ke Makkah, mempekuat posisinya sebagai ulama. Sebab ada anggapan pada waktu itu bahwa, keulamaan seseorang belum mencapai derajat yang tinggi bila Text Box: 7seseorang itu belum belajar ke Makkah atau Madinah. Sedangkan dalam perpektif sosiologi, perjalanan ke Makkah dapat dikaitkan dengan kosmologi Jawa yang menghormati tempat-tempat yang dianggap suci, seperti kuburan. Orang dapat memperolelh kekuatan yang luar biasa dari tempat-tempat yang dianggap suci itu. Makkah-pun kemudian dianggap oleh kebayakan masyarakat sebagai tempat untuk memperoleh kekuatan yang luar biasa. Karena itu tidak aneh bila masyarakat memberikan penghormatan yang tinggi kepada KH. Hasyim Asy'ari.

Bila tipologi masyarakat Jawa yang dibuat oleh Clifford Geertz digunakan untuk menganalisa hubungan mereka dengan KH. Hasyim Asr'ari, maka kelompok Islam santri mentaati dan menghormati KH. Hasyim Asy'ar karena ketinggian keulamaannya (pesrpektif religius), sedangkan kelompok Islam abangan dan priyayi mentaati dan menghormatinya lebih karena ia dianggap mempunyai kekuatan luar biasa (perspektif sosiologis)

H Abdul Rokhim Maruf,  Wakil Kepala Madrasah Mualllimin Muallimat 6 Tahun Tambakberas


Editor:

Opini Terbaru