• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Jumat, 19 April 2024

Opini

Ulama dan Politik: Perlawanan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari terhadap Penjajah (Bagian II)

Ulama dan Politik: Perlawanan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari terhadap Penjajah (Bagian II)
Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari. (Foto: Oase Muslim)
Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari. (Foto: Oase Muslim)

Sikap Politik KH. Hasyim Asy'ari
Dalam menghadapi penjajah, sikap ulama tidak tunggal. Ada ulama yang bersifat konfrontatif fisik, konfrontatif kultural dan ada yang bersifat akomodatif. Ulama yang bersikap konfrontatif fisik, mempunyai ciri perjuangan melakukan konflik fisik. Ulama yang bersikap konfrontatif kultural, mempunyai ciri menjauhkan diri dari pemerintah penjajah secara geografis. Menjauhkan diri dari penetrasi budaya asing. Sedangkan ulama yang bersifat akomodatif, mempunyai ciri perjuangan menerima kehadiran pemerintah penjajah. Menerima jabatan publik yang ditawarkan pemerintah penjajah.

Dalam aksi-aksi sosial untuk mengahadapi penjajah, ulama ada yang menggunakan strategi tradisional dan, ada yang menggunakan strategi moderm. Stretegi tradisional mempunyai ciri menyandarkan kepada otoritas kepemimpinan khansmatik, dorongan mistis dan keagamaan, serata aspek-aspek milenearis. Sedangkan strategi modem mempunyai ciri sekuler, berangkat dari pertimbangan- pertimbangan rasional seperti konstruksi prinsip ekonomi, dan lain-lain.

Sebagaimana sejarah mencatat bahwa, KH. Hasyim Asy' ari adalah salah seorang di antara ulama Indonesia yang berpengaruh dalam perjuangan melawan penjajah. Sikapnya terhadap pemerintahan penjajah bersifat kompleks. Karena itu, KH. Hasyim Asy'ari ketika tampil dalam perjuangan, membuat orang sering terkejut memahaminya. Pada kenyataannya ada dua sikap politik KH. Hasyim Asy'ari terhadap pemerintah penjajah. Pertama, sikap sebagai seorang pribadi yang independen, yang percaya bahwa bekerja sama dengan penjajah adalah bentuk pengkhianatan terhadap agama yang diyakininya. Kedua, Sikap sebagai seorang pemimpin organisasai massa yang harus memperhatikan kepentingan orang banyak, sehingga ia harus menjadikan organisasainya mampu bertahan dalam perjuangan.

Sikap politik KH. Hasyim Asy'ari secara pribadi terhadap penjajah, baik Belanda atau Jepang, adalah non-cooperative. Popularitas Pesantren Tebuireng mendorong pemerintah penjajah untuk mencoba meletakkan KH. Hasyin Asy'ari di bawah pengaruhnya, tetapi tidak berhasil. Ketika pemerintah mencoba memberikan sumbangan pada pesantrennya, ia menolak dengan keras. Pada tahun 1937, datang seorang ambtenaar tinggi penguasa Belanda menjumpai Kiai Hasyim untuk menyampaikan tanda kehormatan pemerintah Hindia Belanda kepadanya, berupa bintang emas, namun dengan tegas Kiai Hasyim menolak pemberian itu. Pada 1942 tatkala penguasa Jepang menduduki Jombang, KH. Hasyim Asy'ari ditangkap dan dimasukkan dalam tahanan karena dituduh menjadi dalang kenusuhan di pabrik gula Jombang. Sebagai kompensasi pembebasan dari tahanan, pemerintah Jepang menawarkan jabatan kepada KH. Hasyim Asy'ari, sebagai Kepala Kantor Urusan Agama untuk wilayah Jawa dan Madura, namun ia menolak.

Sikap politik KH. Hasyim Asy'ari, selaku Rais Akbar NU, berubah-ubah mengikuti alur perubahan zaman. Pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1938, diputuskan keharusan untuk membela negara dari serangan luar. Pada saat itu negara Indonesia dikatagorikan sebagai dar as-Sulh (negara damai). Dengan alasan bahwa, pemerintah Hindia Belanda telah memperbolehkan umat Islam menempati Indonesia dan menjalankan syariatnya. Jika harus menolak kebijakan pemerintah kolonial yang dianggap merugikan umat Islam, maka KH. Hasyim Asy'ari hanya melakukan perlawanan kultural, dengan melarang umat Islam untuk melakukan sesuatu yang dianggap menguntungkan penjajah. Misalnya melarang orang NU untuk duduk dalam Volksraad, karena lembaga ini dianggap sebagai bayang-bayang Parlemen Indonesia, melarang transfusi darah dari Muslim Indonesia kepada pasukan Belanda, melarang Muslim Indonesia untuk berpartisipasi dalam militer, mengeluarkan fatwa menolak melakukan penghomatan terhadap Kaisar Hirohito Jepang.

Sikap politik KH. Hasyim Asy'ari, ketika revolusi Indonesia pada 1945 sedang berlangsung dan perang mempertahankan kemerdekaan berkecamuk di hampir seluruh kota penting di Jawa, adalah menyenukan jihad fi Sabililah dengan mengangkat senjata. Pada 12 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa Jihad. Tak lama kemudian PBNU mengokohkan fatwa itu sebagai sikap NU pada 22 Oktober 1945. Fatwa jihad itu berisi empat butir. Pertama, kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 sebagai wajib dipertahankan. Kedua, pemerintah Republik Indonesia, Sebagai pemerintahan yang sah, wajib dilindungi dan ditaati. Ketiga, kalangan Muslim, khususnya yang tergabung dalam NU, harus angkat senjata melawan Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah kembali Indonesia. Keempat, kewajiban ini adalah salah satu bentuk jihad dan, merupakan kewajiban setiap Muslim (fard ain) yang tinggal dalam radius tertentu dari tempat dikeluarkannya fatwa. Sedangkan yang berada di luar wilayah tersebut harus membantu saudara-saudaranya. Oleh karenanya, siapa saja yang meninggal dalam pertempuran ditetapkan sebagai syahid.

Fatwa jihad tersebut dilatarbelakangi oleh 1) pihak Belanda dan Jepang yang telah datang dan berada di sini telah banyak sekali menjalankan kejahatan dan kekejaman yang mengganggu kepentingan umum, 2) dan semua yang dilakukan oleh mereka itu dengan maksud melanggar kedaulatan Negara Republik Indonesia dan agama, serta ingin menjajah lagi. Fatwa ini memantik pertemnpuran di beberapa tempat, yang mengorbankan banyak korban jiwa manusia.

Fatwa politik KH Hasyim Asy'ari untuk menentang Belanda pada 1945, tidak mengejutkan bila dilihat dari sikap pribadinya yang non-cooperative terhadap penjajah, baik Belanda maupun Jepang. Tetapi bila dilihat dari posisinya sebagai Rais Akbar PBNU, fatwa politik itu mengejutkan, sebab perilaku politik NU yang dipimpinnya sebelum kemerdekan Indonesia bersikap akomodatif.

Untuk memahami sikap politik KH. Hasyim Asy'ani terhadap penjajah dapat menggunakan model paradigma kelompok super-ordinat dan sub-ordinat dari Schermerchorn, yang didasarkan atas dua dimensi, yaitu jumlah dan kekuasaan.

Kelompok Superordinat

Jumlah  Kekuasaan
Kelompok A (+) + golongan mayoritas
Kelompok B (-)  + elite 


Kelompok Subordinat

Jumlah Kekuasaan 
Kelompok C (+) - subyek masa
Kelompok D (-)  - golongan minoritas


Dengan model paradigma tersebut, penjajah Belanda dan KH. Hasyim Asy' ari secara pribadi, masuk kelompok superordinat elit dengan dimensi Jumlah kecil dan kekuasaan banyak dan, masyarakat masuk kelompok subordinat Subyek massa dengan dimensi jumlah banyak dan kekuasaan kecil. Kelompok superordinat memiliki hak-hak istimewa, dan bisa menciptakan patronase. Namun KH. Hasyim tidak mau bergabung dengan penjajah karena ada perbedaan ideologis. Karena itu sebagai pribadi, KH. Hasyim Asy'ari bisa melaksanakan tugas amar ma'ruf nahi mungkar dengan cara non-cooperatif. la mempunyai ilmu pengetahuan keagamaan dan kekayaan yang kuat serta mempunyai jaringan yang luas dengan ulama, baik dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga ia tidak tergantung pada hubungan patronase dengan penjajah. Pesantrennya di Tebuireng yang berdekatan dengan Pabrik gula milik pemerintah Belanda menjadi lambang perlawanannya terhadap hegemoni ekonomi penjajah.

Setelah menjadi pemimpin organisasai dengan pengikut yang besar, tentu aja KH. Hasyim Asy'ari bertikir bahwa kepentingan masa yang dipimpinnya tidak bisa dipenuhi dengan sikap pribadinya yang non-cooperative, sebab bila secara organisatoris ia mengambil sikap non-cooperatit, maka kerugian umat menjadi besar. Sebagai ulama, KH. Hasym Asy'ari pasti memegangi kaidah “Kepentingan umum harus didahulakan daripada kepentingan khusus”. Bila dilihat dari paradigma kelompok Superordinat dan Subordinat, maka NU termasuk memiliki jumlah massa besar, namun dengan kekuasaan politik dan ekonomi yang lemah, sehingga masuk kelompok Subordinat, dengan kategori subyek massa yang berada pada posisi lemah dalam berhadapan dengan penjajah. Tentu jalan akomodatif NU adalah demi kemaslahatan umat.

Demikian juga perubahan sikap politik NU yang dipimpin KH. Hasyim Asy'an, dari akomodatif ke konfrontatif, waktu itu tidak lepas dari pandangannya tentang pentingnya mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan golongan. Sikap konfrontatif ini bila dilihat dari paradigma kelompok superordinat dan subordinat, maka Indonesia yang sudah diproklamasikan telah menjadi kelompok superordinat dengan dimensi jumlah penduduk banyak dan kekuasaan politik yang kuat. Indonesia yang sudah merdeka menjadi kuat kekuasaannya karena telah memenuhi syarat sebagai negara yang merdeka. Baik dilihat dari perspektif hukum Islam, maupun dari perspektif hukum internasional. Dalam kondisi seperti ini, haram hukumnya menyerah kepada penjajah. Dengan demikian perubahan sikap dari akomodatif ke konfrontatif KH. Hasyim Asy'ari selaku Rais Akbar NU bukan sikap politik yang opurtunis, tetapi merupakan sikap politik yang bijaksana untuk mewujudkan kepentingan umat. 

H. Abdul Rokhim Maruf,  Wakil Kepala Madrasah Mualllimin Muallimat 6 Tahun Tambakberas, Kabupaten Jombang


Editor:

Opini Terbaru