• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Kamis, 25 April 2024

Opini

Tanda Ulama yang Benar

Tanda Ulama yang Benar
Ilustrasi. (Foto: madina365.com)
Ilustrasi. (Foto: madina365.com)

Menjadi ulama yang benar itu tentu bukan perkara yang mudah, banyak prasyaratnya, di antaranya adalah berorientasi akhirat dan terdepan dalam teladan melaksanakan perintah agama. Karena itu banyak para kiai yang merasa dirinya belum atau bukan derajat ulama.

Tanda ulama yang benar (ulama akhirat) berikutnya adalah sosok yang komitmen pada ilmu bermanfaat yang mengarahkan pada ketaatan dan "menjauhi dunia", serta menjaga ilmu dari perihal omong kosong dan perdebatan. 

Kisah berikut adalah contoh komitmen keilmuan Syekh Hatim al Asham, murid Syekh Syaqiq al-Balkhi.

Syaqiq bertanya kepada Hatim "Sejak kapan engkau bersamaku?"

Hatim menjawab: "Sejak tiga puluh tiga tahun."

Bertanya lagi Syaqiq: "Apa yang telah engkau pelajari dariku selama itu?"

Hatim: "Delapan masalah."

Syaqiq terperanjat: إنا لله وإنا إليه راجعون
"Habislah usiaku bersamamu, dan engkau tidak pelajari kecuali delapan masalah saja."
Menyela Hatim: "Wahai guruku! Aku tidak pelajari yang lain dan aku tidak ingin berdusta."

Syaqiq: "Uraikanlah masalah yang delapan itu supaya aku dengar."

Hatim: "Aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing-masing mempunyai kekasih dan ingin bersama dengan kekasihnya sampai ke kubur. Maka apabila telah sampai ke kubur, niscaya ia berpisah dengan kekasihnya itu. Maka aku mengambil perbuatan baik menjadi kekasihku. Maka apabila aku masuk kubur, masuk pulalah kekasihku bersama aku."

Berkata Syaqiq: "Benar sekali, ya Hatim! Dan yang kedua? Menyambung Hatim: "Aku perhatikan firman Allah Ta'ala :

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ, فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ

Artinya :"Dan adapun orang yang takut di hadapan kebesaran Tuhannya dan menahan jiwanya dari keinginan yang rendah (hawa nafsu), maka sesungguhnya taman (surga) tempat kediamannya".(An-Nazi'at, 40–41). Maka yakinlah aku bahwa firman Allah Ta'ala itu benar. Lalu aku perjuangkan diriku menolak hawa nafsu itu, sehingga tetaplah aku ta'at kepada Allah Ta'ala.

Yang ketiga, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat, bahwa tiap-tiap orang yang ada padanya sesuatu benda, menghargai, dan memeliharai benda itu. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta'ala:

 مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ

Artinya :"Apa yang di sisi kamu itu akan hilang, tetapi apa yang di sisi Allah itulah yang kekal." (An-Nahl, 96).
 
Maka tiap kali jatuh ke dalam tanganku sesuatu yang berharga dan bernilai, lalu kuhadapkan dia kepada Allah, maka sungguh kekal terpelihara pada sisi-Nya.
 
Yang keempat, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing-masing mereka kembali kepada harta, kebangsawanan, kemuliaan dan keturunan. Lalu aku memandang pada semuanya itu, tiba-tiba tampaknya tak ada apa-apanya. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta'ala:

 إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Artinya :"Yang termulia dari kalian pada sisi Allah ialah yang paling bertakwa" (Al-Hujurat, 13).

Maka berbuat takwalah aku, sehingga aku menjadi orang yang mulia di sisi Allah.
 
Yang kelima, aku memandang kepada makhluk ini, di mana mereka itu saling mencela, dan saling mengutuk satu sama lain. Dan asal ini semuanya, ialah dengki. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta'ala:

نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

Artinya:"Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan di antara mereka dalam kehidupan di dunia ini."(Az-Zukhruf, 32).
 
Maka aku tinggalkan dengki itu. Dan aku jauhkan diri dari orang banyak. Dan aku tahu bahwa pembagian rezeki itu, adalah dari sisi Allah Ta'ala. Maka aku tinggalkan permusuhan orang banyak kepadaku.
 
Yang keenam, aku memandang kepada makhluk ini, berbuat kedurhakaan satu sama lain dan berperang satu sama lain.

Maka kembalilah aku kepada firman Allah Ta'ala :

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا

Artinya :"Sesungguhnya setan itu musuh kalian. Sebab itu perlakukanlah dia sebagai musuh."(Fathir, 6).

Maka aku pandang setan itu musuhku satu-satunya dan dengan sungguh-sungguh aku berhati-hati dari padanya, karena Allah Ta'ala. Aku mengaku bahwa setan itu musuhku. Dan aku tinggalkan permusuhan sesama makhluk.

Yang ketujuh, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing-masing mereka mencari sepotong dari dunia ini. Lalu ia menghinakan diri padanya dan ia masuk pada yang tidak halal dari padanya. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta'ala:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

Artinya :"Dan tidak adalah dari yang merangkak di bumi ini melainkan rezekinya pada Allah." (Hud, 6).
 
Maka tahulah aku bahwa aku ini salah satu dari yang merangkak-rangkak, yang rezekinya pada Allah Ta'ala. Karena itu aku kerjakan apa yang menjadi hak Allah atasku dan aku tinggalkan yang menjadi hakku pada sisi-Nya."

Yang ke delapan, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing-masing mereka bersandar kepada makhluk. Yang ini kepada bendanya, yang itu kepada perniagaannya, yang itu kepada perusahaannya dan yang itu lagi kepada kesehatan badannya. Dan masing-masing makhluk itu bersandar kepada makhluk, yang seperti dia.

Lalu aku kembali kepada firman Allah Ta'ala:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Artinya :"Dan barangsiapa menyandarkan dirinya kepada Allah, maka Allah mencukupkan keperluannya." (Ath-Thalaq, 3). 

Maka akupun menyandarkan diriku (bertawakkal) kepada Allah Ta 'ala. Dan Allah Ta'ala mencukupkan keperluanku."

Berkata Syaqiq: "Ya Hatim! Kiranya Allah Ta'ala telah memberikan taufik pertolongan kepadamu! Aku telah memperhatikan segala ilmu pengetahuan Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an yang mulia, maka aku peroleh, bahwa segala macam kebajikan dan pembalasan, berkisar pada delapan masalah tersebut. Barang siapa menerapkannya, maka berarti dia telah mengamalkan muatan kitab empat itu."

Catatan: Tulisan di atas adalah intisari ngaji Kifayatul Atqiya, bersama KH. Abdussalam Shohib dlm HBH IKAPPMAM Gresik dan Hismam Girindra pada Selasa, 1 Juni 2021.

*Yusuf Suharto, Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif Denanyar, Kabupaten Jombang.


Editor:

Opini Terbaru