• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Rabu, 24 April 2024

Amaliyah NU

Puasa Rajab, Sunnah atau Bid’ah?

Puasa Rajab, Sunnah atau Bid’ah?
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

"Utsman bin Hakim al-Anshariy bertanya pada Said bin Jubair mengenai puasa Rajab, sedangkan saat itu kami berada pada bulan Rajab maka ia menjawab: Kami mendengar bahwa Ibn Abbas RA berkata:

 

 كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم حتى نقول لا يفطر ويفطر حتى نقول لا يصوم

 

“Rasul SAW berpuasa sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak meninggalkan puasa (puasa terus), dan Rasul SAW tidak berpuasa sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak berpuasa” [HR Muslim].

 

Setiap menjelang memasuki bulan Rajab, pro kontra hukum puasa Rajab mencuat dan menjadi topik pembicaraan yang hangat dimana-mana. Pihak yang pro mengatakan puasa Rajab adalah sunnah sementara pihak yang kontra malah mengatakan bid’ah. Untuk mengurai hakikat sebenarnya hukum puasa Rajab mari kita kaji hadis di atas dengan disertai penjelasan para ulama otoritatif.

 

Imam Nawawi menjelaskan maksud hadis di atas: “Yang jelas bahwasannya maksud dari Sa’id bin Jubair mengemukakan dalil di atas (Rasul SAW puasa dan tidak) adalah bahwa tidak ada larangan dan tidak ada pula anjuran secara khusus puasa pada Rajab, tetapi hukumnya sama seperti bulan-bulan lainnya. Tidak ada ketetapan larangan dan kesunnahan untuk puasa Rajab, tetapi asalnya puasa adalah sunnah. Dalam sunan Abi Dawud diriwayatkan, bahwasanya Rasul SAW menganjurkan puasa pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan mulia yaitu Dzul qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), sedangkan bulan rajab adalah salah satunya.” [Syarah Muslim].

 

Di sisi lain, pelarangan terhadap puasa Rajab juga telah menjadi kabar yang simpang siur sejak dahulu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut:

 

“Abdullah, budak Asma binti Abu Bakar dan dia adalah paman anak Atha, berkata: “Asma menyuruhku menemui Abdullah bin Umar untuk menyampaikan pesan beliau:

 

 بلغني أنك تحرم أشياء ثلاثة العلم في الثوب وميثرة الأرجوان وصوم رجب كله

 

‘Telah sampai kepadaku berita bahwa kamu mengharamkan tiga perkara: lukisan pada kain (sulaman sutera), bantal bewarna ungu, dan puasa bulan Rajab seluruhnya’.

 

Abdullah bin Umar memberikan klarifikasinya kepadaku:

 

أما ما ذكرت من رجب فكيف بمن يصوم الأبد

 

Adapun mengenai puasa bulan Rajab yang kau sebutkan, maka bagaimana dengan seorang yang puasa terus menerus sepanjang masa?“. [HR Muslim].

 

Imam Nawawi Menjelaskan:

 

 أما جواب ابن عمر في صوم رجب فإنكار منه لما بلغه عنه من تحريمه ، وإخبار بأنه يصوم رجبا كله ، وأنه يصوم الأبد. والمراد بالأبد ما سوى أيام العيدين والتشريق

 

Jawaban Ibnu Umar mengenai puasa Rajab tersebut merupakan penolakan atas kabar larangan puasa Rajab yang disinyalir bersumber dari dirinya bahkan jawabannya merupakan pemberitahuan bahwa ia sendiri melakukan puasa Rajab sebulan penuh dan puasa selamanya yakni puasa sepanjang tahun, selain dua hari raya dan hari-hari tasyriq. [Syarah Muslim].

 

Maka kesimpulan Imam Nawawi di atas, saya kira sebagai kunci dan titik temu di antara dua kelompok di atas yaitu “Tidak ada ketetapan larangan dan kesunnahan untuk puasa rajab tetapi asalnya puasa adalah sunnah”.

 

Puasa kapanpun (selain dua hari raya dan hari-hari tasyriq) termasuk di bulan Rajab adalah ibadah yang berpahala. Rajab menjadi istimewa karena ia adalah bulan yang suci dan mulia

 

Puasa Rajab dan Keutamaannya

Bulan Rajab adalah bulan ke tujuh dari bulan hijriah (penanggalan Arab dan Islam). Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad shalallah ‘alaih wasallam untuk menerima perintah shalat lima waktu diyakini terjadi pada 27 Rajab ini. Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram atau muharram yang artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat bulan haram, ketiganya secara berurutan adalah: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri, Rajab. Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan.

 

Tentang bulan-bulan ini, Al-Qur’an menjelaskan: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. at-Taubah: 36)

 

Hukum Puasa Rajab

Ditulis oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhammad bin Manshur al-Sam’ani yang mengatakan bahwa tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat (tapi kemudian riwayat mawquf Ibn Umar dalam Sahih Muslim justru menguatkan bahwa Ibn Umar alih-alih memakruhkan, bahkan beliau berpuasa Rajab sebulan penuh).

 

Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab itu cukup menjadi hujjah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.

 

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda “Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia).”(Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa’i dan Abu Dawud (disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): “Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya’ban. Rasul menjawab: ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang”.

 

Menurut al-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, “Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang” itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.

 

Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih Imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda: “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-Muharram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab)“.

 

Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.

 

Disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan-bulan haram yaitu Dzulqa’dah, Dzul hijjah, Rajab dan Muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan Muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.

 

Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan “Memang benar tidak satupun ditemukan hadis shahih mengenai puasa Rajab. Namun telah jelas dan sahih riwayat bahwa Rasul SAW menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram. Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).

 

Hadis Keutamaan Rajab

Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan kekhususan puasa bulan Rajab: Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:

 

“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).

 

“Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan.”

 

Riwayat al-Thabarani dari Sa’id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya…..“

 

“Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut”. Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad Saw bersabda: “Rajab itu bulannya Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku“.

 

Sabda Rasulullah SAW: “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakah sungai ini ?” Maka berkata Jibril a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”.

 

Mengamalkan Hadis Daif Rajab

Ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi li al-Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan puasa Rajab tersebut terkategori dha’if (lemah atau kurang kuat).

 

Namun, dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadis dha’if dalam konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama).

 

Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al-‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- Tadzkirah mengatakan: “Adapun hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, apabila hadis itu tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal dan lain- lain.”

 

Penulis: Ustadz Yusuf Suharto, tim penulis buku Hazanah Aswaja 


Editor:

Amaliyah NU Terbaru