• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Jumat, 26 April 2024

Nyantri

Perang Jombang (9-habis): Operasi Intelejen

Perang Jombang (9-habis): Operasi Intelejen
Zulkifli Lubis, pendiri intelejen Indonesia. (Foto: Istimewa)
Zulkifli Lubis, pendiri intelejen Indonesia. (Foto: Istimewa)

Oleh: M Fathoni Mahsun*

Sarkawi saat ini sudah tidak lagi mengenakan seragam dan menenteng senjata, atau melakukan hal lain yang berkenaan dengan ketentaraan. Pekerjaannya sekarang menjadi kusir dokar. Dia punya pelanggan tetap bernama Lurah Samiun. Masih ingat Lurah Samiun? 

Sosok Lurah yang pernah disinggung di bagian sebelumnya. Ketika itu dia akan melaksanakan perintah pembentukan Pager Desa. Sebuah perintah yang sebenarnya ditujukan pada semua desa di wilayah Republik. Akan tetapi pada tahap awal-awal hanya beberapa desa saja yang berhasil mewujudkannya. 

Salah satu faktor Lurah Samiun berketetapan segera membentuk Pager Desa di tengah situasi yang masih tak menentu, adalah karena dia telah mendiskusikan perintah tersebut dengan seorang agen rahasia yang menyamar sebagai kusir dokar, bernama Malik. Malik itu sendiri adalah nama samaran dari Sarkawi.

Sarkawi alias Malik ini sudah lama ditunjuk Kretarto sebagai salah satu agen rahasianya. Selain menjadi agen rahasia, dia sekaligus menjadi penghubung komunikasi bawah tanah antara TRI dengan pejabat sipil paling depan, yaitu pamong desa. Dengan menjadi kusir dokar, geraknya menjadi leluasa dan tidak dicurigai.

Kretarto kali ini memintanya membantu mencari jawab permasalahan yang belum terpecahkan. Kenapa Belanda tidak kunjung melakukan pergerakan? Apakah sedang merencanakan sesuatu, ataukah mereka mengendurkan ekspansinya?
Seiring berjalannya waktu, jaringan Sarkawi tidak hanya Lurah Samiun, tetapi juga lurah-lurah yang lain, termasuk lurah di Mojokerto. Karena wilayah ini juga masih bagian dari tanggung jawab Kretarto. Namun para lurah bukan jaringan satu-satunya yang dipegang Sarkawi.

Suatu hari Sarkawi terlihat sedang menunggu seseorang di sebuah pasar hewan. Berkali-kali dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling berharap menemukan orang yang dia cari. Orang-orang yang datang untuk menggunakan jasanya pun dia tolak dengan halus. 

Akhirnya, dari kejauhan tampak juga orang yang dia tunggu-tunggu. Seseorang yang berpakaian khas, setelan baju berlengan panjang tanpa kerah serta celana komprang, kedua-duanya berwarna hitam. Ditambah lagi topi lebar dan rokok ditangan, lengkap dengan oncenya. Ponimin namanya.

Orang yang ditunggu, nampaknya baru menyadari kalau dia dinanti. Tidak ada janjian sebelumnya. Hanya saja kalau ada dokar yang menantinya, dengan kuda berwarna putih dan sedikit belang di bagian pantatnya, berarti akan ada tugas untuknya.

“Wah..., wah..., kayaknya laris daganganmu. Laku berapa kambing kamu hari ini?” Sapa Sarkawi begitu orang tersebut naik, dengan senyum lebarnya.

“Lumayan lah..., bawa empat ekor laku semua.” 

“Bagi rokok dong..., dari pagi tadi belum dapat duit. Nolak penumpang terus gara-gara nunggu kamu kelamaan.”

“Ha ha ha..., sekali-kali, lah. Kapan lagi kamu mau menungguku. Ada apa lagi, penting amat sepertinya?” penumpang tersebut sambil menyisipkan rokok klobot ke bibir Sarkawi, yang masih sibuk memegangi tali kekang kudanya. Kemudian menyulutkannya sekalian. 

Mulut Sarkawi sudah nampak beberapa kali mengepulkan asap rokok. Keramaian pasar sudah mulai berjarak dengan dua orang yang berada di atas dokar tersebut. Mereka kini sudah melalui jalan yang sepi. Menuju ke arah barat. Bukan ke arah kampung Ponimin, karena kampung tempat Ponimin tinggal berada di selatan pasar.
“Aku kemarin sudah menemui beberapa lurah di sekitar pabrik Gempolkerep, untuk segera dicarikan informasi.” Sarkawi mulai memaparkan maksudnya. 

Secara kasat mata penumpang Sarkawi ini adalah blantik, pedagang hewan. Tapi sesungguhnya dia sama seperti Sarkawi, agen rahasia. Sebagai blantik namanya Ponimin. Tapi aslinya bernama Markum, ya..., Markum teman kecil Sarkawi yang dulu ketika diajak daftar TKR kepikiran terus dengan kambing-kambingnya. Kini dia mendapat tambahan pekerjaan sesuai kesenangannya.

“Terus?”

“Aku katakan, besok mereka sudah harus kirim utusan untuk menyampaikan informasi. Tapi agar aku tidak gampang terlacak, aku katakan agar para utusan itu menemui orang ku. Dan orang ku itu adalah kamu”

“Dimana? Dan berapa orang?”

“Aku menemui tiga lurah, masing-masing mengirimkan satu utusan. Ketemu di pinggir berantas, tempat yang biasa orang mancing.”

“Sandi?” Markum langsung tanya pada poinnya. Dia tidak perlu lagi meminta didekte tentang petunjuk teknis. Karena tugas semacam ini sudah biasa dia lakukan. 

“Dapat ikan, ikan kutangkap. Dapat burung, burung ku sangkar.”
“Baik, apa lagi?”

“Oh iya, Kode. Gunakan wadah ikan dari anyaman daun kelapa.”

Setelah melewati hamparan sawah yang panjang, akhirnya Markum minta diturunkan di sebuah warung kecil di pinggir kampung. Kini dia kembali menjadi Ponimin, yang menjadi blantik dan mencari informasi di warung tersebut barangkali ada orang yang akan jual kambing, sapi, atau kerbau.

Keesokan harinya Markum sudah stand by di tempat yang telah ditetapkan sebelumnya. Dia agak menjaga jarak dengan kerumunan orang. Kali ini dia mengenakan topi lebar untuk melindungi diri dari sengatan matahari, tapi bukan topi yang biasa dia kenakan ke pasar.

Matahari sudah mulai tenggelam, ketika ada seseorang mendekati dirinya. Orang itu lalu duduk di samping Markum, sejenak kemudian melemparkan kailnya ke sungai.

“Dapat ikan, ikan kutangkap. Dapat burung, burung ku sangkar.” Dia ucapkan sandi setelah menemukan posisi nyaman.

“Ah lama sekali kamu. Aku sudah sejak pagi di sini, tinggal menunggu kamu, yang lain sudah dari tadi.” Markum langsung melabrak agen yang baru menghadapnya.

“Iya..., ma.., maaf Pak. Karena saya harus memastikan informasi yang saya dapatkan.”

Markum memperhatikan sejenak agen tersebut. Nafasnya masih terengah-engah. Tanda bahwa dia berlari menuju tempat ini. Itu sudah menjadi alasan awal bagi Markum untuk memaklumi keterlambatan agen tersebut.

“Bawa informasi apa kamu?”

“Anu Belanda.”

“Kenapa Belanda.”

“Katanya tidak akan menyerang Jombang.”

“Kenapa?”

“Ka.., karena semua pasukan Republik sekarang sedang berkumpul di Jombang.”

“Terus, apa lagi?”

“Se.., selain itu karena Belanda juga sedang menghormati perjanjian..., em apa itu namanya?”

“Linggajati?”

“Iya itu.”

“Dapat informasi dari mana kamu?”

“Dari mata-mata Belanda yang kita tangkap.”

“Haaa...., mata-mata Belanda? Dari mana kamu tahu kalau itu mata-mata Belanda?”

“Dari..., dari gerak-geriknya yang mencurigakan..., terus ketika kita tangkap, dia juga membawa senjata yang biasa dipakai Belanda.”

“Terus sekarang mata-mata itu di mana?”

“Sudah kita lepaskan, karena kita memang janji, kalau dia mau kasih informasi penting, kita akan lepaskan.”

“Aduuuh...,”

“Kenapa keburu dilepas. Kita belum tahu apa dia mata-mata yang beneran tertangkap, apa mata-mata yang sengaja membuat dirinya tertangkap.”

Insting intel Markum spontan menyayangkan tindakan agen tersebut. Tapi ya sudahlah…, dia rupanya belum banyak pengalaman. Suatu saat nanti perlu dididik lagi. Karena merasa telah tersampaikan semua informasi yang dimiliki, Markum menyuruh agen tersebut pergi.

*Penulis adalah Wakil Sekretaris PCNU Jombang 

Tulisan ini diambilkan dari novel berjudul Perang Jombang karya penulis sendiri. 9 dari sekian banyak kisah diterbitkan di NU Jombang Online atas izin penulis. 

Untuk bisa membaca kisah lengkapnya disarankan langsung membeli novel dengan menghubungi nomor +62 852-3002-2987


Editor:

Nyantri Terbaru