• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Rabu, 24 April 2024

Opini

Kuluarga Partisipatif Tentukan Karakter Anak

Kuluarga Partisipatif Tentukan Karakter Anak

Oleh Ali Makhrus*

Kakek nenek, orang tua, mertua, adik, kakak, keonakan, paman, bibi, suami, istri  adalah keluarga. Dan institusi tersebut tak diragukan memegang peranan penting terhadap pembentukan karakter anak. Keluarga adalah unit sistem organisasi pendidikan alam raya yang kita tempati. Dan tentu keluarga, masyarakat, Negara memiliki ikatan yang terhubung satu sama lain. Sehingga, berfungsinya unit sistem (red ; keluarga) disertai tanggung jawab yang partisipatoris, dapat memacu dan mendesign secara natural bagi karakter seorang anak.

Dalam kehidupan sejarah manusia telah banyak ditemukan orang — orang dengan karakter yang kuat. Tak jarang di antara mereka, lahir dengan kondisi pas — pasan, yatim dan bahkan tanpa sejak lahir ditinggal orang tua. Dan di antara orang hebat juga ada yang lahir dengan kondisi yang serba cukup dan menunjang bagi karakter seorang anak. pertanyaanya, sejauh mana peran orang tua (keluarga) memiliki tingkat katalisator bagi karakter anak ? dan bagaimana karakter anak terbentuk berdasar kualifikasi yang diimpikan ?

Pentingnya Kesadaran Posisi Dalam Hubungan

Tan Malaka, selain seorang ideolog juga pendidik yang sangat berbakat. Dia menulis, “kalau didikan sekolah disandarkan langsung pada masyarakat dan alam raya maka pengetahuan yang perlu bagi pemuda dan pemudi kita, pengetahuan yang berdasarkan nyata syah dan mulia bisa tertanam dengan kukuh” (Madilog: 538). Penulis sendiri memahami maksud Bung Tan bahwa, pendidikan haruslah mengajarkan hubungan — hubungan dan keterkaitan — keterkaitan bagi peserta didik. Keberadaan keluarga, sekolah lingkungan masyarakat serta alam sekalipun merupakan satu satuan unit sistem yang memiliki kodrat alamiah pasrtispatif bagi iman dan karakter anak.

Belakangan ini, berbagai media sudah secara nasional menyuarakan darurat moral dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelajar seumuran SMP dan SD (di bawah umur). Penulis ambil tiga perbandingan kasus kekerasan seksual di tiga daerah,  kasus yang menimpa saudari Yuyun (Bengkulu) dua minggu belakangan bahkan sampai di bunuh, serta kasus Surabaya beberapa hari terakhir. Dan terakhir lagi yang terjadi di Manado. Meskipun jenis kasus sama, namun ada perbedaan yang patut kita diskusikan. 

Perihal Yuyun merupakan sosok gadis desa pelosok yang jauh dari ekses — ekses perilaku dan budaya keras perkotaan. Sementara Surabaya, penuh dengan hiruk pikuk dan dinamika budaya urban begitupula Manado. Pun factor penunjang terjadinya kegiatan ketiganya juga berbeda. Perihal Yuyun, para pelaku memberanikan diri dengan Mihol (minuman beralkohol), dan si korban dibuat tak sadarkan diri dengan kekerasan. Sementara Surabaya para pelaku bisa dikatakan sudah berani sejak awal namun si korban di beri Pil Double L (ekstasi) dan Manado si korban dengan Narkoba dalam hal memperoleh ketidak sadaran. Dari ketiga kondisi lingkungan yang berbeda itu juga melahirkan attitude dan gaya kekerasan yang berbeda pula. Namun yang pasti,  dalam ketiga kasus di atas, perempuan jadi objek kekerasan dengan pelumpuhan kesadaran. dan para pelaku sudah terbiasa mengkonsumsi fantasi pornografi sebelumnya, yang mereka peroleh fasilitas teknologi internet.

Namun, kritik tulisan di sini dari ketiga contoh tersebut adalah ketiga kasus dilakukan oleh mereka yang memiliki kesamaan ikatan sosial, yakni pertemanan atau perkenalan yang sudah lama. Sehingga kecurigaan dan kehati — hatian juga tidak nampak kecuali setelah kejadian. Kalau merujuk Madilog di muka tadi (paragrap 3), serta para pelaku di bawah umur serta proses eksekusi dalam ketidaksadaran, serta kebiasaan fantasi pornografi, jelas mereka belum mengetahui hubungan — hubungan dan kodrat - kodrat yang saling berkaitan satu sama lain serta konsekuensinya, maka yang terjadi adalah perilaku sepihak yang spontanitas dan arogan. Padahal, seumuran mereka sedang hangat - hangatnya dalam kebimbangan pilihan tokoh teladan dalam lingkungan masyarakat (living moral exemplary).

Dan sekarang ini, putera puteri kita sudah jamak diketahui lebih dekat dengan fasilitas teknologi berisikan dunia palsu atau dunia tanpa batas moral. Atau dunia fantasi dari gemerlap material dan kepuasan individual. Di sana disuguhi dengan ragam menu siap makan serta dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Sehingga tindakan meniru tanpa proses verifikasi nilai faith; baik dan buruk akan kita jumpai. atau wawasan psikologi dikenal dengan istilah what they see is what they do (apa yang mereka lihat adalah apa yang mereka kerjakan).

Proses verifikasi nilai dengan pertimbangan baik dan buruk (faith) akan jadi penentu bagi perkembangan sikap seorang anak. Madilog (537) berkomentar, “janganlah dilupakan bahwa perkara yang penting pula dalam menentukan teguh dan imannya itu ialah masyarakat kita sendiri. Artinya dan gunanya masyarakat terselip dalam hati seorang anggota sipil dan umpatnya sesuatu masyarakat terhadap anggota atau pemimpinya sejarah yang melanjutkan perbuatan keji atau mulya seseorang anggotanya sangat mempengaruhi paham perasaan dan perangai seseorang”. Artinya, apa yang menimpa putera — puteri kita sekarang ini merupakan imbas dari apa yang sudah masyarakat kehendaki.

Di lain pihak, putera puteri kita juga berhadapan dengan maraknya orang acuh terhadap musibah yang menimpa yang orang lain. Orang bilang, “dukamu adalah keberuntunganku,”. Maka tak heran, jika orang sekarang lebih nyaman mem — bully daripada memotivasi sesama saudara. Dan perilaku tersebut bisa kita saksikan dalam perilaku politik dalam drama kekuasaan ataupun kasus — kasus yang lain yang tersaji oleh teknologi internet. Perilaku yang bersumber dari komunalisme berlebihan tersebut merupakan peranakan paham liberalisme dan individualisme yang telah membentang dari kota hingga desa. Dan kita tahu ujung dari paham ini adalah menindas orang lain. Dan otomatis anak juga akan memainkan peran dan menjadi seperti drama yang mereka lihat.

Belum lagi, kesempatan kerja yang terbatas, kehidupan foya — foya berbinar — binar merupakan bagian tak terpisahkan dalam menumbuhkembangkan perilaku — perikalu frustasi dan menyimpang. Lebih jelas lagi, perilaku yang timbul dari peranakan paham materialisme ini membentuk mindset berpikir yang pendek. Hingga mereka sampai pada kesimpulan bahwa, “kesulitan cari kerja, guna dapat uang bagi kehidupan sehari — hari mereka; beli hp, main ke mall, sepeda motor dan lain lain jadi kenyataan yang baku dan berujung fatalisme”. Pola pikir demikian, menutup pintu tentang usaha, kerja keras, pantang menyerah, kemauan untuk hidup dan kepercayaan yang tinggi.

Nah, dalam kasus di atas, tingkat partisipasi peran lingkungan masyarakat (public) dan keluarga (privat) sebagai satuan unit dalam sistem keteraturan sosial memiliki posisi dominan bagi pola pikir anak dalam membuat keputusan dan tindakan. Merujuk tulisan Tan Malaka dalam Madilog tersebut mengajak kita secara bersama — sama untuk memberikan pemahaman kepada anak sejak dari kecil tentang hubungan serta konsekuensinya. Dengan demikian, kesadaran sejak dini akan ikut mempengaruhi cara berfikir anak — anak dalam menjalankan proses verifikasi tindakan dan konsekuensinya terhadap hubungan — hubungan sistemik mereka. Jadi, semakin dini anak - anak kita menyadari nilai hubungan (relathionship values), maka semakin mudah bagi mereka memahami posisi serta tanggung jawab dalam sistem sosial (social responsibility).

*Penulis adalah warga NU asal Madiun, Jawa Timur, mahasiswa pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Editor:

Opini Terbaru