• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

Kekuatan Kiai

Kekuatan Kiai
Sebuah foto yang diambil dari film Sang Kyai. (Foto: Istimewa)
Sebuah foto yang diambil dari film Sang Kyai. (Foto: Istimewa)

Oleh Ahmad Samsul Rijal*

Tidak lama lagi, kebanggaan sebagai santri tertumpahkan secara ekspresif dalam peringatan Hari Santri Nasional, tanggal 22 Oktober. Pemikiran asumtif bersifat minor para orientalis terhadap figure Santri yang dikesankan dengan tradisi sarung dan peci, runtuh seketika, karena santri telah memiliki hari kebanggaan. Sebuah pengakuan dan penghargaan negara terhadap peran santri dalam sejarah perjalanan bangsa.

 

Fragmen sejarah peran santri itu berkorelasi, bahkan terikat kuat dengan fragmen sejarah bangsa yang dikenal dengan Hari Pahlawan Nasional, 10 Nopember. Sebuah pertempuran hebat di Surabaya yang tidak pernah dilupakan oleh kekuatan militer manapun di dunia kala itu. Sebuah model pertempuran tidak berkelas yang mengalahkan kekuatan militer berkelas dunia. Sebuah pertempuran yang tidak beraturan namun bergerak teratur mengalahkan pasukan Sekutu dengan disiplin tinggi.

 

Sekutu; kekuatan militer pemenang perang dunia II, kekuatan militer yang pasukan elite Inggris tertempa ilmu dan strategi perang serta berpengalaman ratusan tahun berperang dibelahan dunia, harus bertekuk lutut dan tertunduk lesu menyerah menghadapi gerombolan santri dan pasukan nekat. Dikatakan gerombolan karena tidak terlatih sebagai pasukan tempur. Kobaran semangat keberanian dan kepatuhan terhadap Fatwa Kyai jauh melebihi kehebatan tank, senapan mesin, pistol, karaben, metraliur, dinamit, dan granat.

 

Fatwa Kyai melalui “Resolusi Jihad” 22 Oktober 1945 menjadi energy besar, ideology dasar dan kekuatan spiritual yang menggerakkan semangat bela agama-negara (Fardlu Ain). Tua, muda, remaja, laki-laki, perempuan, santri, guru, pegawai, pedagang, petani, buruh, kaya, miskin serta tentara dan kyai menyatu –tanpa membedakan ras, suku dan agama- dalam satu barisan menghadapi manuver NICA (Belanda) dengan membonceng Sekutu merebut kedaulatan NKRI yang telah diproklamasikan 17 Agustus 1945.

 

Tidak ada kata mundur dari medan perang; rawe-rawe rantas, malang-malang putung, berjuang mempertahankan kemerdekaan NKRI adalah kewajiban yang harus dilakukan atau syahid. Ideology ini yang tertanam dalam dibenak dan pikiran pejuang, sehingga ancaman apapun didepan siap dihadang dan dihancurkan. Inilah kekuatan sesunggunya para pejuang saat itu.

 

Ternyata, para Kyai kala itu memiliki pengetahuan geopolitik yang memadai, sehingga bisa menentukan daerah perang. Dan para santri telah memiliki kemampuan tempur yang tinggi karena sebelumnya telah dilatih oleh Jepang di Cibarusah. Mobilisasi pejuang yang dikomando oleh Para Kyai di Surabaya memaksa komandan pasukan elite Inggris, pasukan sekutu lain dan NICA mengibarkan bendera putih tanda menyerah serta meminta perundingan. Kyai Nafi, Kyai Ahyar, Kyai Tohir Bakri, Kyai Abdurrahman, Kyai Mas Ahmad, Kyai Haamid Haz, Kyai Ahyat dan lain-lain adalah bagian kecil dari penggerak pejuang, membagi wilayah tempur Surabaya, merebut, menguasai dan menghancurkan kekuatan sekutu.

 

Inilah sumbangan terbesar para pejuang bangsa mempertahankan kemerdekaan NKRI, 20 ribu pejuang menjadi syahid. Dari pihak sekutu 1.500 tentara tewas, bahkan dalam versi terbaru, 2 jenderal sekutu, yakni : Brigadier General Aubertin Walther Sother Mallaby dan Brigadier General Robert Guy Loder Symonds tewas terbunuh. Tewasnya 2 jenderal membuat Sekutu malu sebagai kekuatan militer pemenang Perang Dunia II, bahkan menurut aturan perang kala itu; tidak boleh jenderal perang dibunuh dalam situasi yang bisa dikontrol. Namun, didada para pejuang hanya ada semangat mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan dalam komando perlawanan.

 

Dari penggalan cerita sederhana dan singkat diatas dapat direfleksikan peristiwa 10 November 1945 yang dikenal dengan Hari Pahlawan Nasional, melalui beberapa catatan penting.

 

Pertama : Fatwa Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945 oleh Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari adalah landasan ideologis yang diimplementasikan melalui gerakan perlawanan terhadap NICA yang membonceng sekutu untuk menjajah kembali NKRI yang merdeka dan berdaulat. Dalam konteks ini, untuk melawan dan menghadapi ancaman kekuatan dominan yang merongrong atau melemahkan kedaulatan bangsa bisa dilakukan dengan menemukan landasan ideologisnya ;

 

Kedua : Spiritualitas selalu memainkan posisi penting untuk menggerakkan perlawanan ketika situasi menghendaki adanya kekuatan pendorong agar bisa menghadapi situasi yang mengancam kedaulatan dan keutuhan bangsa. Bahkan, kekuatan spiritual mendominasi cerita heroik pertempuran saat itu. Dalam konteks sekarang, spiritualitas perlu mendapat tempat dan dihidupkan secara sistematis untuk menopang kekuatan bangsa;

 

Ketiga : perlawanan rakyat dalam peristiwa yang berujung pada 10 November 1945 terbangun karena mengental dan menguatnya ikatan budaya dan tradisi, bahkan kekuatan budaya dan tradisi itu mampu mengalahkan instrument modern dari alat tempur NICA dan Sekutu. Oleh karena kekuatan bangsa ini bertumpu pada budaya dan tradisi masyarakatnya, maka perlu penjagaan dan perlindungan terhadap khazanah budaya dan tradisi masyarakat bangsa;

 

Keempat : Orientalis tidak menyangka bahwa Kyai dan Santri yang berpendidikan pesantren memiliki pengetahuan politik yang tinggi serta mempunyai daya tempur yang strategis. Faktanya, mereka berada digaris depan melawan NICA dan Sekutu melalui Barisan atau Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah. Bahkan, pergerakan kedua laskar ini sangat bergantung pada kekuatan dan komando Kyai. Maka, berbanggalah menjadi Santri karena tradisi pesantren yang sering diremehkan barat itu memiliki keunggulan tersendiri. Oleh karenanya, keunggulan pesantren perlu dikembangkan kembali sebagai alternatif bagi kemandekan budaya global, zaman now.

 

Kelima : menjadi jelas apa yang sedang dituju dan diarahkan oleh para orientalis dengan menyebut Kyai dan Santri sebagai golongan tradisionalis atau kolot?. Mereka tulis dan sebarkan ideology minor itu paska perjuangan Kyai-Santri (1945-1949) dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI. Suatu maksud yang tidak menghendaki peran Kyai-Santri berada di garis depan dalam pembangunan dan penjagaan terhadap kedaulatan bangsa, NKRI.

 

Keenam : heroisme perlawanan menghadapi NICA dan Sekutu hingga dikenang dengan Hari Pahlawan Nasional 10 November menjadi bukti sejarah bahwa menghadapi Indonesia tidak bisa semata-mata dengan kekuatan fisik. Nasionalisme dan kekuatan kultural bangsa akan bangkit untuk menghadapi pertempuran fisik. Sehingga, upaya menjajah Indonesia tidak lagi dilakukan dengan memeranginya secara fisik (kekuatan militer), sebaliknya dengan cara mengubah ideology dan menguasai sumber daya bangsanya. Inilah penjajahan model baru; sunyi dan senyap namun mematikan.

 

Ketujuh : Nahdlatul Ulama melalui Fatwa Rais Akbar yang dijalankan oleh para Kyai dan Santri mampu menggalang (memobilisasi) kekuatan dari seluruh lapisan masyarakat (tidak mengenal SARA) untuk berjuang menghadapi musuh negara. Inilah kemampuan sesungguhnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan Kyai ketika menghadapi dan merespon situasi tidak menguntungkan. Karenanya, kemampuan itu harus tetap dijaga dan dikembangkan.
Sebagai kata penutup, bila tanggal 22 Oktober diperingati Hari Santri Nasional dan 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional, maka sesungguhnya didalam Hari Pahlawan Nasional itu tertanam Hari Kyai Nasional.

 

*Katib Syuriah PCNU Jombang periode 2017-2022


Editor:

Opini Terbaru