• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Kamis, 25 April 2024

Opini

Jalan Menuju Allah SWT

Jalan Menuju Allah SWT
Ilustrasi orang berjalan. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi orang berjalan. (Foto: Istimewa)

Islam mengajarkan bahwa jalan menuju Allah Ta’ala ada tiga yaitu; Syari’at, Thoriqot dan Haqiqot. Pengertian dari ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut:

 

1. Syari’at

 

الشريعة هى الاخذ والاتباع لدين الله تعالى والامتثال للمأمورات والاجتناب عن لمنهيات

 

“Syari’at adalah mengambil (melaksanakan) dan mengikuti agama Allah swt dengan menjalankan perintah-perintah (Allah) dan menjauhi semua larangan-larangan (Allah) ”

 

Agama Allah dijalankan dalam tiga ilmu, yang kesemuanya wajib (fardlu ‘ain) dipelajari oleh setiap muslim. Ketiga Ilmu itu adalah :

 

Ilmu yang membawa aqidah menjadi benar. Ilmu ini disebut dengan ilmu tauhid. Ilmu yang membawa ibadah menjadi benar. Ilmu ini disebut dengan ilmu fiqih. Ilmu yang menjadikan hati menjadi baik. Ilmu ini disebut dengan ilmu tasawwuf”. Fungsi ilmu ini membersihkan hati dari hal-hal yang selain Allah. 


2. Thoriqot

الطريقة هى الاخذ بالاحوط فى سائر الاعمال

 

”Thoriqot adalah mengambil (melaksanakan) agama dengan sangat waspada dan berhati-hati di dalam amal perbuatan". 


Di antara sikap sangat waspada dan hati-hati dalam menjalankan agama adalah dengan menjaga sifat wara’ dan ‘azimah, seperti riyadloh

 

a. Wara’ yang menurut Abu al Qosim Al-Qusyairi adalah meninggalkan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang belum jelas kehalalannya).

 

Sesungguhnya Allah menurunkan wahyu pada Nabi Musa as, “Para mutaqorrobun tidak mendekatkan dirinya kepada-Ku sebagaimana jalan wara’ dan zuhud”. Abu Hurairah ra. Berkata, “Orang-orang yang bersanding dengan Allah besok adalah orang yang ahli wara’ dan ahli zuhud”.

 

Hadits ini menjadi penegas bahwa oarng-orang yang memiliki sikap wara’ dan zuhud besok di akhirat memiliki posisi yang sangat dekat di sisi Allah. Dan prilaku zuhud serta wira’i merupakan jalan yang paling tepat menuju kedekatan seorang hamba dengan sang kholiq.

 

Imam Ghozali membagi sifat-sifat wara’ menjadi empat tingkatan yaitu:

 

1. Wara’nya orang-orang yang adil

وهو ترك كل ما يحرمه فتوى الفقهاء كالربا والمعاملات الفاسدة

 

"Yaitu meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan oleh ahli fiqih seperti makan barang riba dan muamalah yang rusak (dilarang syariat)".

 

قال كهنس : اذنبت ذنبا ابكى عليه منذ اربعين سنة وذالك انه زارنى اخ لى فاشتربت بذائق سمكة مشوية فلما فرغ اخذت قطعة طين من جدار جار لى حتى غسل يده ولم استحله

 

"Kahnas berkata, “Aku melakukan suatu dosa yang aku tangisi selama empat puluh tahun. Dosa tersebut adalah suatu ketika saudariku mengunjungiku, kemudian aku membelikan ikan yang jelak seharga satu daniq (seper enam dirham). Setelah selesai, aku mengambil secuil tanah dari tembok tetanggaku sehingga saudaraku membasuh tangannya, dan aku tidak meminta halalnya.”

 

2. Wara’nya orang-orang yang sholeh

Yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat (sesuatu yang belum jelas kehalalannya).

 

Ibrahim bin Adham ditanya: Apakah kamu tidak minum air zamzam ? Dia menjawab: Seandainya aku punya timba maka aku akan meminumnya.

 

3. Wara’nya orang-orang yang bertaqwa.

Yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak ada bahayanya (sesuatu yang halal) karena takut dengan sesuatu yang berbahaya (haram). 

 

قال عمر بن الخطاب رضى الله عنه : كنا ندع تسعة إعشار الحلال مخافة ان تقع الحرام

 

'Umar bin Khoththob ra. berkata : Kami meninggalkan sembilan persepuluh dari hal-hal yang haram karena kami takut terjerumus dalam keharaman". 

 

4. Wara’nya orang-orang yang shiddiqin

Yaitu meninggalkan sesuatu yang terbebas dari afat (hanya karena takut terlena atau lupa kepada Allah) atau dengan kata lain meninggalkan sesuatu yang selain Allah di dalam hati.
Contoh prilaku wira’i para shiddiqn kiranya dapat digambarkan dari cerita berikut:

 

Imam Ahmad bin Hanbal menggadaikan timba (ember) kepada seorang penjual sayuran di kota Makkah (semoga Allah selalu menjaga Makkah), ketika Imam Ahmad ingin menebusnya, si penjual sayur mengeluarkan dua ember lalu berkata : Ambillah salah satunya untukmu. Imam Ahmad berkata : Aku tidak tahu yang mana emberku, maka ember dan uang dirhamku untukmu. Si penjual berkata : Embermu yang ini, dan aku ingin mengujimu. Kemudian Imam Ahmad berkata : Aku tidak akan mengambilnya. Imam pergi dan meninggalkan embernya di tempat penjual sayur.

 

Diceritakan bahwasanya saudara perempuan Bisyr Al Hafi ra. mendatangi Imam Ahmad, ia berkata : Sungguh kami sedang memintal di atas loteng kami, kemudian ada sinar obor suku At-Thohiriyah menerangi kami. Apakah kami boleh memintal dengan sinar obor tersebut ? Imam Ahmad berkata : Siapa engkau ? Semoga Allah mengampunimu. Wanita itu menjawab : Saudara perempuan Bisyar Al-Hafi. Lalu Imam Ahmad menangis dan berkata : Dari rumah kalian telah keluar sifat wara’ yang sesunggguhnya. Janganlah engkau memintal dengan sinar obor tersebut.

 

b. ‘Azimah adalah tujuan yang sangat kuat. Yang dimaksud di sini adalah bersungguh-sungguh dan sabar atas masalah-masalah yang berat menurut nafsu yang bertentangan dengan hawa nafsunya.

 

Contoh dari azimah adalah seperti melakukan riyadloh, yaitu Mendorong jiwa untuk melakukan amal-amal yang dituntut akhlak budi yang bagus, seperti : terjaga pada waktu malam hari, mampu menahan lapar, zuhud, jujur, uzlah, meninggalkan hal-hal yang diinginkan oleh nafsu dan lain-lain dari sifat dan perilaku yang bisa mendekatkan diri kepada Allah.

 

Al Hasan Al-Qozaz berkata : Perkara ini (riyadloh) dibangun atas tiga perkara yaitu : 1). Janganlah kamu makan kecuali saat kekuarangan (sangat lapar). 2). Janganlah kamu tidur kecuali pada saat ngantuk mengalahkanmu. 3). Janganlah kamu berbicara kecuali saat terpaksa.

 

3. Haqiqat

​​​​​​​
Hakikat adalah sampainya seorang salik (orang yang berjalan menuju Allah Ta’ala) kepada yang dimaksud yaitu ma’rifatullah dan menyaksikan nur tajalli.

 

Sedangkan yang dimaksud dengan tajalli adalah seperti apa yang digambarkan oleh Imam Ghozali sebagai nur dari sasuatu yang ghoib yang dibukakan di dalam hati.

 

Cahaya ini tidak kasat mata, sehingga tidak bisa disaksikan oleh panca indra, karenanya cahaya ini hanya bisa dirasakan oleh orang-orang tertentu saja, yaitu mereka yang memiliki derajat tertentu disisi Allah. Menurut Imam Abdul Qosim Al-Qusyairi : Syariat adalah menerima peritah untuk melaksanakan pengabdian kepada Allah secara rutin, sedangkan hakikat adalah melihat dengan hati akan sifat-sifat ketuhanan.

 

Ulama ahli tashawwuf mengumpamakan syariat laksana perahu, thoriqot laksana laut dan haqiqot laksana mutiara yang bernilai tinggi. Syariat diumpamakan laksana perahu sebab syariat merupakan sarana untuk keselamatan dari kerusakan dalam mencapai tujuan. Thoriqot diumpamakan seperti laut sebab laut merupakan tempat mutiara yang dimaksud. Sedangkan haqiqot diumpamakan seperti mutiara yang mahal dan bernilai tinggi, artinya mutiara itu tidak mungkin didapatkan kecuali di dalam laut. Orang tidak akan sampai ke dalam lautan kecuali dengan menggunakan perahu. Maka untuk memperoleh mutiara yang mahal tidak mungkin kecuali dengan menggunakan perahu serta mencarinya ke dasar lautan.

 

Begitu juga haqiqot tidak akan diperoleh kecuali dengan menggunakan syariat dan thoriqot.Perumpamaan tersebut dikatakan oleh Syekh Zainuddin bin Ali Al-Ma’bari dalam kitabnya Hidayatul Adz-Kiya’, syariat itu laksana perahu dan thoriqot laksana laut, kemudian haqiqot laksana mutiara yang mahal. 

 

Sedangkan sebagian ulama’ ahli tashowwuf yang lain mengumpamakan syariat, thoriqot dan haqiqot seperti buah pala. Syariat laksana kulitnya, thoriqot laksana isinya dan haqiqot laksana minyaknya. Seseorang tidak akan memperoleh minyaknya kecuali setelah memperoleh isinya dan ia tidak akan memperoleh isinya kecuali dengan terlebih dahulu memecah kulitnya.

 

Inilah sebagian I’tibar bagaimana seharusnya setiap muslim berjuang untuk sampai pada derajat tertinggi disisi Allah Swt.

 

*Ditulis Oleh KH Moch Jamaluddin Ahmad, Pengasuh Pesantren Tambakberas.


Editor:

Opini Terbaru