• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Rabu, 24 April 2024

Opini

Indonesia Wajah Islam yang Ramah

Indonesia Wajah Islam yang Ramah

Oleh Rif'atuz Zuhro*

Sejarah Islam Indonesia yang Ramah
Perbincangan terkait teologis memang tidak akan ada habisnya, sebab semangat teologis itulah yang hingga kini membuat umat manusia terus berafiliasi dengan dalil-dalil ilahiah pada dimensi kehidupan ini. Sejak turunnya agama-agama sebelum Islam, yakni Yahudi dan Nasrani yang sering disebut di dalam Al Qur’an (Agama Samawi), dijelaskan jika semangat ketuhanan itulah yang mempengaruhi pola interaksi, pola sosial, dan pola politik. Akan muncul sentimen tinggi ketika pada masa transisi kepercayaan Nasrani setelah Yahudi, juga Nasrani dengan Agama Islam.

Sebagai insting manusia secara alami, akan muncul pemberontakan ide, dan tindakan atas usikan tentang kepercayaan nenek moyang mereka yang diperbarui dengan kepercayaan baru yang dibawa oleh nabi baru yang diutus untuk membaharui atau menyempurnakan agama sebelumnya.

Begitu juga ketika Agama Islam datang di tengah dahaga ilmu ketuhanan yang rentan punah, yang dibawa Nabiyullah Muhammad bin Abdullah, maka sangat wajar ketika muncul berbagai penolakan dan pemberontakan. Bisa jadi karena memang pada saat itu sebagian orang memang telah iman sepenuhnya terhadap agama nenek moyang mereka, atau lebih takut eksabilitasnya menurun ketika Muhammad menjadi orang besar akan merenggut kedaulatan pembesar-pembesar Quraisy yang kebanyakan mereka adalah pedagang dan saudagar kaya raya. Disitu, banyak hal yang melatarbelakangi penolakan ajaran Tuhan tidak hanya soal keimanan, melainkan kemapanan struktur sosial yang akan berubah ketika kekuasaan itu diambil alih oleh Islam.

Disisi lain pula, datangnya Islam sebagai teologi pembebasan terhadap masyarakat tertindas termasuk perempuan yang pada sikon dahulu telah diperlakukan secara tidak manusiawi lagi, Islam datang membawa rahmat untuk umat termasuk mengangkat derajat perempuan yang mulai ditelurkan dengan dalil-dalil, kalam-kalam Tuhan tentang kebaikan, keadilan, dan penghormatan.

Islam diterima dengan apik tidaklah langsung kuasa Tuhan, bukan hal yang susah jika Tuhan berkehendak untuk mengislamkan manusia sejagad raya ini, tetapi Tuhan menciptakan manusia dengan dibekali akal yang mampu menjadi aktor intelektual untuk mengelola bumi dan isinya, termasuk manusia itu sendiri.

Dengan semangat “Baldatun Thoyyibatun”, Islam hadir untuk seluruh jagad raya, rahmatan lil alamin. Kata Rahmat bersifat ‘Am (umum), artinya kasih sayang Tuhan (Allah) tidak terbatas untuk muslim semata, namun untuk seluruh manusia di muka bumi.

Jika menukil pendapat, Zainul Milal Bizawie dalam bukunya “Masterpiece Islam Nusantara; Sanad dan Jejaring Ulama Santri” mengatakan bahwa kemerdekaan Bangsa Indonesia ialah bentuk Rahmat Nya Tuhan kepada Bangsa Indonesia, yang heterogen agamanya (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Konghuchu). Semangat itulah yang relevan dengan kondisi Indonesia yang multikultural.

Islam di Indonesia ialah Islam yang damai, ramah dan toleran. Sebab, Islam sendiri datang ke Nusantara dengan berbagai hal yang unik, termasuk perdagangan dan dakwah damai yang telah terakulturasi dengan budaya setempat. Berbeda, dengan wajah Islam yang berada di Tanah Hijaz, sebab berdasarkan histori nya saja sudah berbeda, yang mana Islam Timur Tengah berkembang dengan sebuah “penaklukan”, meskipun pada awal datangnya Islam, Rasulullah sendiri tidak pernah memakai cara-cara kekerasan untuk melakukan islamisasi terhadap umatnya.

Islam Indonesia juga memiliki pemikiran yang metodologis dalam penyebaran Islam di Nusantara yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi kepesantrenan seperti yang dibangun oleh Wali Songo dan para ulama generasi selanjutnya.[1]

 “Al-muhafadzah alalqadimish shalih walakhdzu bil jadidi ashlah” (memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik), kaidah tersebut muncul atas dasar dialektik para Ulama Nusantara yang menginginkan masyarakat dapat menyesuaikan dengan budaya-budaya yang baik yang telah dilakukan, bukan merubah seluruh tatanan sosial budaya yang telah lama mengakar di masyarakat nusantara yang kental dengan artistik Hinduisme, dan Budaisme sebagai agama nenek moyang masyarakat Nusantara.

Perwujudan kultural ala walisongo ini kemudian mencapai titik paripurna dalam bentuk pesantren. Hal ini tidak lepas dari jejaring ulama nusantara pada abad-abad setelahnya yang menggambarkan proses kesinambungan yang terus berproses menyempurnakan, proses tersebut mengalami persilangan lintas kultur, dengan transmisi keilmuan, jejaring ulama dan interaksi kebudayaan. Persilangan lintas kultur antara kawasan nusantara dengan arab, Yaman, Haramain, Ottoman dan kawasan Asia tengah menjadi titik penting untuk melihat bagaimana penyerbukan lintas budaya terjadi. Islam nusantara lahir dari interaksi antar budaya yangmenghasilkan harmoni dan tradisi, ritual dan pemahaman konsep-konsepnya. Islam Nusantara tidak berangkat dari kekerasan, namun dari cara-cara perdamaian untuk meresap di hati.[2]

Begitupun juga dengan sejarah pesantren dimulai dari pengajian-pengajian yang diadakan oleh para penyebar Islam di masa walisongo dalam upayanya mengajarkan dan menyebarkan ajaran islam. Bahkan juga bisa dikatakan bahwa pendidikan khas pesantren merupakan budaya asli nusantara, yang artinya bukan “copy-paste” dari negara dan bangsa lain.[3]

[1]   Ahmad Baso, Islam Nusantara Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia (Jakarta: Pustaka Afid, 2016), 101

[2] Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara (Tangerang: Pustaka Compass, 2016), 5-6

[3] A. Helmy Faisal Zaini, Pesantren Akar Pendidikan Islam Nusantara (Jakarta: P3M, 2015), x

*Penulis adalah warga NU Jombang


Editor:

Opini Terbaru