• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Sabtu, 20 April 2024

Amaliyah NU

Dzikir dan Syair Sebelum Shalat Berjama’ah

Dzikir dan Syair Sebelum Shalat Berjama’ah
Ilustrasi wirid. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi wirid. (Foto: Istimewa)
Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat jama’ah, adalah perbuatan yang boleh dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kebolehan ini bisa ditinjau dari beberapa sisi.
 
Pertama, dari sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:
 
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أَنْشَدْتُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ أَجِبْ عَنِّي اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ (رواه أبو داود، 4360، و النسائي، 709، وأحمد، 20928)
 
“Dari Sa’id bin Musayyab ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, “Aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu”, kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah RA. Hassan melanjutkan perkataannya,“Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW “Jawablah dariku, ya Allah mudah-mudahan engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus”. Abu Hurairah menjawab,“Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya).” (HR. Abu Dawud [4360] al-Nasa’i,[709] dan Ahmad [20928]).
 
Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma’il al-Zain menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasehat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyad al-Mu’minin Ila Fadha’ili Dzikr Rabb al-‘Alamin, hal. 16).
 
Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya tersebut terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasehat.
 
Ketiga, dari aspek psikologis, lantunan syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu.
 
Manfaat lain adalah, untuk mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama’ah dilaksanakan. Juga agar para jama’ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama’ah dilaksanakan.
 
Dengan beberapa alasan inilah maka membaca dzikir, nasehat, puji-pujian secara bersama-sama sebelum melaksanakan shalat jama’ah di masjid atau di mushalla adalah amaliah yang baik dan dianjurkan. Namun dengan satu catatan, tidak mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat. Tentu hal tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing masjid dan mushalla dimaksud.
 
Mengeraskan Dzikir
 
Mengenai tata cara dzikir, apakah dikeraskan atau dibaca pelan, masing-masing ada dalil dan tuntunan dari hadits Nabi SAW. Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan dzikir adalah:
 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  قَالَ، قَالَ النَّبِيُّ : يَقُولُ اللهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ (رواه البخاري، 7857، ومسلم، 4832، والترمذي، 3528، وابن ماجه، 3812).
 
“Dari Abu Hurairah RA, ia berkata. Nabi SAW bersabda, “Allah ta’ala berfirman, “Saya akan berbuat sesuai dengan keyakinan hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku akan selalu bersamanya selama ia ingat kepada-Ku. Jika ia ingat (berdzikir) kepada-Ku di dalam hatinya, maka Aku akan memperhatikannya. Dan jika ia menyebut Aku di dalam suatu perkumpulan (dengan suara yang didengar orang lain) maka Aku akan ingat kepadanya di dalam perkumpulan yang lebih baik dari perkumpulan yang mereka adakan.” (HR. al-Bukhari [7857], Muslim [4832], al-Tirmidzi [3528] dan Ibnu Majah [3812]).
 
Di samping itu banyak sekali do’a-do’a yang diajarkan oleh Nabi SAW yang diriwayatkan para sahabat, itu artinya suara Nabi cukup keras sehingga para sahabat dapat mendengar dan menghafalnya.
 
Sedangkan hadits yang menjelaskan keutamaan berdzikir dengan pelan adalah:
 
عَنْ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ وَخَيْرُ الرِّزْقِ مَا يَكْفِي (رواه أحمد، 1397).
 
“Dari Sa’ad bin Malik ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Paling baik dzikir adalah yang dilakukan secara samar. Sedangkan rizki yang paling baik adalah yang mencukupi.” (HR. Ahmad [1397]).
 
Karena sama-sama memiliki sandaran hukum, maka semua berpulang kepada masing-masing individu. Imam Jalaluddin al-Suyuthi menjelaskan bahwa memelankan dzikir itu bisa lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya’ atau mengganggu orang yang shalat atau orang tidur. Pada selain yang dua ini, maka mengeraskan suara itu lebih utama, karena pekerjaan yang dilakukan ketika itu lebih banyak, serta manfaat dari dzikir dengan suara keras itu bisa didapatkan oleh orang yang mendengar. Dzikir itu juga dapat mengingatkan hati orang yang membaca, memusatkan segenap pikirannya untuk terus merenungkan dan menghayati (dzikir yang dibaca), memfokuskan konsentrasi dan pendengarannya, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat.” (Al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal. 133).
 
Keterangan dari Imam al-Suyuthi ini selain menjelaskan keutamaan mengeraskan dzikir, sekaligus menegaskan batasannya, bahwa dzikir itu boleh dikeraskan selama tidak mengganggu orang lain yang sedang beribadah.


Editor:

Amaliyah NU Terbaru